Minggu, 17 Februari 2008

kata marco..

Arsitek Muda

Saya kenal seorang arsitek muda bernama Yuli Kusworo. Dia laki-laki yang lahir bulan Juli di Yogyakarta. Dia lulus pada tahun 2001 dari jurusan arsitektur Universtas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Dia muslim yang rajin sholat. Sehabis sholat biasanya wajahnya berseri-seri. Tubuhnya kurus tanpa lemak. Tampaknya sehat, tapi mudah masuk angin.

Setelah membantu masyarakat di Stren Kali di Surabaya, ia berangkat ke Aceh pasca-tsunami pada tanggal 3 Februari 2005, bergabung dengan tim UPLINK pimpinan Wardah Hafidz di sana. Ia membantu mengajak korban bencana pulang ke kampung-kampung asli mereka, supaya berkumpul, menjaga tanah leluhur mereka, bersama-sama membangun tempat tinggal sementara untuk kemudian merencanakan dan akhirnya membangun gampong dan kehidupan mereka kembali.

Pada awal tahun 2005 itu, pengalaman 4 tahun kerja setelah lulus, membuat Yuli masih “yunior”, apalagi di Aceh pasca-tsunami ia harus bekerja di bawah arahan arsitek-arsitek senior yang seolah-olah hebat menurut kesan yang di dapat di media massa, disamping beberapa arsitek dari Gujarat, India. Jadi tentu saja namanya tenggelam. Kenyataannya, informasi yang dia kumpulkan, renungan-renungannya dan cerita-ceritanyalah yang menjadi dasar bagi para seniornya untuk memberikan umpan-balik dan melakukan koordinasi atau membuat beberapa keputusan. Para senior itu berganti-ganti. Sedang Yuli bekerja dari awal sampai akhir, dan baru “keluar” dari Aceh sesudah seluruh program UPLINK di sana selesai. UPLINK membangun 23 desa berisi sekitar 3,500 rumah, 23 meunasah, beberapa mesjid, dan semua perlengkapan desa lainnya. UPLINK adalah organisasi pertama yang secara resmi menyerahkan 23 gampong dengan 3,500 rumah kepada masyarakat pada tanggal 28 Desember 2006. Prestasi kecepatan ini mengalahkan semua organisasi nasional maupun internasional lain yang bekerja di Aceh. Menurut survei UN-HABITAT dan Universitas Syah Kuala, rumah-rumah yang dibangun bersama oleh masyarakat dan UPLINK itu mendapat nilai paling tinggi dalam hal kualitas teknis dan kepuasan para pemilik rumah. Setidak-tidaknya dua dari lima tipe utama rumah-rumah itu adalah karya Yuli sepenuhnya. Selain itu ia juga bertanggung-jawab merancang beberapa meunasah, mesjid, dan menangani perencanaan empat gampong. Proses perencanaan gampong itu sangat melelahkan karena melalui proses partisipasi yang intensif, dengan peralatan yang sederhana dan kondisi kehidupan yang sulit.

Arsitektur yang dirancang Yuli, rumah menempel tanah berukuran 36 m2 lebih sedikit, dan rumah panggung yang berukuran kurang lebih sama, tidak mungkin spektakuler. Ia tidak mungkin mengutip literatur yang fancy tentang art-deco atau Umberto Eco. Paling-paling Eko Prawoto mantan dosennya, yang memang sumber yang baik. Begitu juga gampong-gampong itu. Anggarannya hanya 38 juta per rumah pada awalnya, lalu naik menjadi 52 juta rupiah per rumah karena inflasi yang tidak terkendali. Gajinya kecil, tapi ia bekerja dengan efisien dan efektif, sehingga 94.06 % dari total dana 268 milyar yang dikelola UPLINK langsung dinikmati masyarakat korban bencana. Biaya operasional dan manajemennya hanya 3,81%. Ini sangat rendah dibandingkan dengan standar apa pun, dalam keadaan normal atau, apalagi, pasca-bencana. Sementara para pekerja di organisasi internasional kemana-mana naik mobil besar, 4-wheeler, yang intimidatif, Yuli naik sepeda motor atau sepeda, dan banyak berjalan kaki membawa back-pack yang ditaruh di depan dada untuk menahan angin. Kadang-kadang gulungan gambar yang dibawahnya tertekuk angin. Di masa awal sebelum perjanjian perdamaian, tidak jarang ada kontak senjata di gampong-gampong tempat ia bekerja, yang memang kebetulan berada di daerah “panas”, dan itulah pula sebabnya ketika itu tak banyak organisasi lain mau membantu di situ.

Yuli adalah salah satu orang muda penting idola saya di bidang arsitektur, sama seperti Butet Manurung di bidang pendampingan masyarakat asli.

Setiap generasi muda menjawab soal yang berbeda pada keadaan yang berbeda. Begitu juga dalam hal rancangan. Bagi Yuli soalnya adalah merancang rumah dengan anggaran terbatas, yang dapat dibangun dengan cepat sesuai dengan keadaan logistik yang sangat repot. Ia juga harus memenuhi persyaratan tahan gempa dan cara-cara sederhana menyiasati tsunami mendatang, di samping menghadapi kecerewetan pemilik rumah dengan sabar. Ia tidak mungkin mengharapkan eksposur media untuk menjadi terkenal. Ia tidak mungkin mengharapkan gaji yang tinggi. Ia tidak mungkin bermaksud membangun jembatan emas menuju karir di kota besar. Sampai sekarang saya tidak tahu motivasinya—karena rupanya tidak penting—setidaknya tidak seperti yang mudah dibaca di buku ini tentang berbagai generasi muda sepanjang sejarah Indonesia.

Karena itu, di antara Sukarno dan Adi Purnomo, saya mengantar Yuli Kusworo. Boleh donk…

28 Oktober 2007

Marco Kusumawijaya

tulisan ini ditulis marco, sebagai prolog buku katalog pemeran perjalanan arsitektur indonesia 'tegar bentang' di erasmus huis, jakarta, novembar 2007..

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda