Kamis, 25 Desember 2014

Pak Amat: Penyintas Tsunami Aceh

Sebulan lalu, kira-kira awal November 2014 saya datang ke Aceh, untuk melihat kembali tempat di mana saya bekerja selama 2 tahun lebih di 23 gampong pasca Tsunami Aceh. Saya berkeliling bersepeda dan menemui orang-orang yang selamat (penyintas) dan bekerja di masa tanggap darurat dan rekonstruksi bersama Urban Poor Linkage (UPLINK) Indonesia, organisasi di mana saya bekerja pada masa itu.



Saya menemui orang tertua di Gampong Lam Guron, Kecamatan Peukanbada. Beliau kami panggil Pak Amat (78 tahun). Saat ini beliau menjabat Ketua Tuha Peut (sesepuh kampung) dengan keseharian bekerja di sawah bersama anak-anaknya. Saya berbincang dengannya dan merangkum pengalamannya saat selamat dari terjangan tsunami Aceh 26 Desember 2014, 10 tahun lalu. Pak Amat mempunyai keluarga 11 orang terdiri dari satu istri (hilang) dan 9 anak (6 orang hilang). Kini Pak Amat hanya tinggal bersama 3 orang anaknya.

Saat terjadi tsunami Pak Amat sedang mencari ikan menggunakan sampan kayu. Saat air surut Pak Amat hanya tertegun bingung kenapa ini karang-karang terlihat dangkal sekali. Tak lama dari itu di tengah laut terlihat air hitam tinggi semakin mendekat. Tak kehabisan akal, saat ombak sudah dekat Pak Amat memberanikan diri nyemplung ke laut dan memgangi sampannya. Sehingga Pak Amat terbawa arus dengan mendekap pelampung kayunya. Tak terlihat kampungnya lagi, yang ada hanya terlihat bukit di belakang kampungnya dan pucuk pohon-pohon kelapa dan dibawa ke bukit. Terombang ambing besama pelampungnya, Pak Amat beberapa kali kembali ke laut hingga datang ombak ke dua yang lebih besar.

Akhirnya ombak tersebut membawa Pak Amat tersangkut di pohon besar di gampong sebelah, gampong Lambadeuk. Ternyata Pak Amat baru sadar kalau dirinya tersangkut di atas pohon. Setelah berhasil memegang ranting yang ada, hingga air semakin surut Pak Amat hanya melihat situasi sekeliling dari atas pohon. Ombak datang dan pergi tiga kali hingga yang terakhir Pak Amat turun dan lari ke bukit untuk mencari tempat yang lebih aman. Saat menuju bukit pun sudah hampir magrib, rasa trauma yang luar biasa karena berjalan melompati mayat-mayat orang yang jumlahnya puluhan di antara puing-puing kayu bongkahan rumah yang roboh.

Jam 12 malam Pak Amat akhirnya bertemu orang gampong Meunasah Tuha bernama Abu Zakaria. Akhirnya di bukit sepakat mereka menjauh dari kampung agar dapat bantuan dan bisa mencari makanan. Rasanya tak tega meninggalkan mayat-mayat tersebut, namun karena jumlahnya sangat banyak akhirnya diputuskan untuk meninggalkan satu per satu mayat-mayat tersebut. Pak Amat malam pertama menginap di kandang Lembu di gampong Lam Geu Eu dan bertemu beberapa orang dan ada yang membawa mie instant dan dimasak dengan menggunakan air bekas tsunami yang masih tergenang di sekitar kandang.

Pagi harinya Pak Amat memberanikan diri pulang ke kampung mencari keluarganya, namun tak satu pun menemukan keluarganya yang hilang (7 orang). Hari berikutnya beliau menemukan salah satu anaknya yang ditemukan tetangganya, Rahmawati dengan luka serius karena tercabik kayu pada kakinya. Sementara 2 anak lainnya yang selamat secara kebetulan sedang berada di rumah sakit meuraxa dan bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atap rumah sakit bersama beberapa orang.

Yang menjadikan Pak Amat kembali ke kampung halaman adalah soal tanah leluhur. Tanah tumpah darah bagi Pak Amat adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipertahankan. Sehingga beliau memilih untuk kembali ke kampung, mengumpulkkan kayu bekas tsunami dan membangun Meunasah untuk tempat bekumpul dan mengkonsolidasikan kekuatan sosial. Hingga akhirnya UPLINK mendorong gerakan pulang kampung bersama-sama dan membangun rumah sementara dari kayu bekas.

Pak Amat sangat yakin jika kampungnya bisa kembali terbangun, dengan modal kekuatan warganya yang tersisa. Saat itu ada 27 orang yang memutuskan kembali ke kampung bersama Pak Amat. Dengan 27 orang tersebut pembangunan gampong dimulai. Pak Amat pun menjadi salah satu tim inti UPLINK yang bekerja membuat peta kampung menggunakan alat digital Total Station Survey (TSS). Pak AMat dan beberapa warga dari Lam Guron bekerja bersama tim survey UPLINK selama lebih dari 3 bulan memetakan lebih dari 3500 tapak tanah di 23 gampong.

Sekarang Pak Amat merasa sangat siap jika terjadi gempa. Pembelajaran sebagai penyintas tsunami sangat bermanfaat baginya untuk lebih siaga. Demikian pula dengan 200an orang yang tinggal di gampong Lam Guron sekarang sudah tidak panik lagi ketika terjadi gempa. Rumahnya yang menghadap ke arah laut juga membuat beliau mudah mengawasi laut saat gempa terjadi. Apakah air naik atau tidak, beliau cukup berdiri di pintu dan memandang ke arah laut.








Rabu, 24 Desember 2014

Arsitek Jalanan: Di Ujung Jempol Mereka Pacaran



JANGAN membayangkan seorang arsitek berdasi, berkemeja merek ternama, berparfum mahal, dan duduk di ruang kerja nyaman berpendingin ruangan. Tujuh arsitek ini berbeda bagai langit dan comberan bila harus dibandingkan dengan arsitek di kota-kota besar. Kantor mereka adalah bumi Aceh di bagian yang paling parah akibat terjangan tsunami.

KERTAS kerja yang berserakan di sekeliling adalah puing-puing. Atap adalah langit biru dengan angin laut Selat Malaka sebagai pendingin udara alaminya. Mereka adalah arsitek jalanan dalam arti sesungguhnya; bekerja di tengah reruntuhan desa dan bahkan di samping tumpukan jenazah. 

"Pernah, pada awal-awal tsunami saat tim evakuasi belum datang, dua rekan kami hengkang dari Aceh karena harus tidur dengan sembilan belas jenazah," kata Ambar, satu dari tujuh arsitek yang saya temui di dekat reruntuhan Desa Meunasah Tuha, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Kamis (10/3).Siang itu Ambar dan dua rekannya baru saja berjalan telanjang kaki menelusuri jalur Desa Lam Teungoh ke Ujung Pancuh untuk pemetaan. Jarak empat kilometer antardua desa itu mereka tempuh lebih dari satu jam, di tengah terik matahari yang masih menyengat meski sudah pukul 15.00. Itulah sebabnya mereka disebut arsitek jalanan. Di sebuah barak kami buat janji dan bertemu. Kebetulan seluruh anggota tim arsitek jalanan hadir sehabis seharian bekerja.

Ketujuh anggota tim arsitek jalanan itu ialah Yuli Kusworo, Adi Chris, Ariawan, dan Ian yang masing-masing sudah sarjana teknik (arsitektur). Sedang Ambar, Doni Wardana, dan Sigoel adalah mahasiswa tingkat akhir Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Ariawan dan Ian malah sudah menjadi konsultan. Kecuali Ian yang jebolan teknik sipil Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, selebihnya beralmamater Duta Wacana.
Tujuh arsitek jalanan ini sudah banyak makan asam garam dalam memberikan advokasi permukiman kepada warga berkekurangan.

Sebagian dari mereka, misalnya, pernah bekerja dua tahun di stren kali Surabaya dan permukiman nelayan tepi teluk di Lampung. Meski mengaku bukan bagian dari Urban Poor Consortiums (UPC), mereka hadir di Aceh karena UPC juga, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian pada warga berkekurangan. Cara mereka bekerja lebih bersifat bottom-up, yakni menampung aspirasi dari tingkat bawah terkait dengan permukiman seperti apa yang mereka inginkan pascatsunami. Warga 14 desa di tiga kecamatan (Peukan Bada, Meuraxa, dan Jaya Baru) dipersilakan memilih konsep permukiman sendiri-sendiri sesuai kebutuhan. "Hampir seluruh warga desa menganggap bencana itu datang dari ’Atas’ sehingga yang mereka perlukan hanya ke mana dan bagaimana cara menyelamatkan diri bila tsunami datang. Untuk itu, konsep kita adalah menciptakan ’escape hill’ dengan memperlebar badan jalan hampir dua kali lipat sebelumnya," kata Yuli.

Beberapa pekan belakangan tersiar kabar adanya masterplan dari Jakarta lewat Bappenas dan Departemen Pekerjaan Umum untuk merekonstruksi wilayah Aceh yang terkena tsunami. Beberapa wilayah pantai terbagi dalam beberapa zona penyangga alias buffer zone. Namun, penerapan zona-zona penyangga itu disinyalir menjauhkan nelayan dengan laut karena bagian terdepan zona penyangga adalah hutan bakau, lebih ke dalam ada tambak, kawasan hijau, dan seterusnya. Masterplan itulah yang ditakuti nelayan.

MENURUT Yuli, masterplan mereka yang dirinci lebih detail itu tidak jauh beda dengan yang dibuat orang-orang Jakarta. Yang membedakan hanyalah mereka datang, menyapa, dan bertanya langsung apa yang warga inginkan. Tidak jarang arsitek jalanan ini membentang peta kecamatan dalam bentuk fotokopian di tengah- tengah reruntuhan desa, di tenda, atau di barak-barak sementara. Sudah biasa mereka menginap di barak-barak untuk berdiskusi langsung dan merasakan derita warga. Lewat pendekatan bottom-up inilah warga tidak ragu melepaskan tanah yang dulu mereka miliki untuk dijadikan fasilitas umum maupun fasilitas sosial di bibir pantai. Warga, misalnya, tidak menolak jika permukiman mereka bergeser agak ke dalam, mendekati bukit agar mereka bisa melarikan diri bila datang tsunami.

"Apa yang warga inginkan kita terjemahkan ke dalam gambar, mana sawah mana meunasah. Rekonstruksi wilayah baru kita coba tawarkan untuk kemandirian dan merangsang berkehidupan. Pendeknya, gambar wilayah baru yang kita buat tidak jauh beda dengan konsep wilayah sebelum kena tsunami," papar Yuli.
Dari 14 desa yang mereka garap, proyek percontohan mereka lakukan di dua desa; Meunasah Tuha dan Lam Teungoh. Tidak semua konsep itu bisa diterima di desa lainnya karena antardesa berbeda kebiasaan, juga bisa beda pengertian soal tanah leluhur. Itulah pentingnya datang dan menyapa langsung warga. Berkat cara itu, warga Desa Meunasah Tuha dan Lam Teungoh sudah bulat menerima rancangan wilayah yang disodorkan tujuh arsitek jalanan ini. Soal desain rumah, sebagaimana dituturkan Adi Chris, tidak terlalu mereka pikirkan karena semuanya diserahkan kepada warga.

"Warga memberi gambaran sendiri-sendiri, lalu kita terjemahkan. Misalnya perhitungan perkiraan biaya yang dibutuhkan tiap satu rumah yang hendak mereka bangun," katanya. Dari masterplan desa yang paling bawah, mereka bergerak ke masterplan kecamatan, kabupaten, dan seterusnya yang pada akhirnya terbentuk masterplan utuh terintegrasi, baik drainase, jalan, sampai ke persoalan listrik.

Sebelum sebuah wilayah baru tercipta, warga dimukimkan di temporary shelter alias barak sementara yang bahan-bahannya berasal dari reruntuhan tsunami yang mereka daur ulang. "Kita hanya memberi pendampingan saja," kata Adi lagi

SIGOEL yang berambut gimbal menyebut diri mereka plus kiprahnya itu sebagai "arsitek alternatif" yang belajar banyak dari rakyat. "Kegiatan arsitek yang sesungguhnya ya di rakyat itulah, menyatu dengan rakyat dan tidak hanya duduk di kantor," katanya.

Ambar yang berstatus calon sarjana teknik (arsitektur) angkat bicara. Baginya yang masih mahasiswa, apa yang dilakukannya itu lebih dari sekadar kerja lapangan untuk membuat sebuah tugas akhir skripsi.
"Saya bisa membuat tesis dari kegiatan ini," katanya terkekeh. Sigoel yang juga masih kuliah menambahkan, "Di ruang kuliah, kami kerap diberi soal-soal fiktif. Di sini kami diberi soal-soal yang nyata."
Ketujuh arsitek jalanan yang sudah tiba di Aceh beberapa hari setelah bencana tsunami masih akan terus bekerja hingga akhir April. Masing-masing diberi honor Rp 1,3 juta per bulan yang mereka sebut sebagai "honor relawan".

Kalaupun mereka ingin lekas pulang, tak lain karena mereka sudah kangen sama pacar. "Selama di sini, saya pacaran di ujung jempol dengan mengirimkan pesan-pesan pendek melalui handphone," kata Ambar. (PEPIH NUGRAHA)


Digunting dari: Kompas, 18 Maret 2005

Jakarta Vertical Kampung

Kegiatan Bersama para pengrajin perak asli Jagalan