Arsitek Jalanan: Di Ujung Jempol Mereka Pacaran
JANGAN
membayangkan seorang arsitek berdasi, berkemeja merek ternama, berparfum mahal,
dan duduk di ruang kerja nyaman berpendingin ruangan. Tujuh arsitek ini berbeda
bagai langit dan comberan bila harus dibandingkan dengan arsitek di kota-kota
besar. Kantor mereka adalah bumi Aceh di bagian yang paling parah akibat
terjangan tsunami.
KERTAS
kerja yang berserakan di sekeliling adalah puing-puing. Atap adalah langit biru
dengan angin laut Selat Malaka sebagai pendingin udara alaminya. Mereka adalah
arsitek jalanan dalam arti sesungguhnya; bekerja di tengah reruntuhan desa dan
bahkan di samping tumpukan jenazah.
"Pernah,
pada awal-awal tsunami saat tim evakuasi belum datang, dua rekan kami hengkang
dari Aceh karena harus tidur dengan sembilan belas jenazah," kata Ambar,
satu dari tujuh arsitek yang saya temui di dekat reruntuhan Desa Meunasah Tuha,
Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Kamis (10/3).Siang itu Ambar dan dua
rekannya baru saja berjalan telanjang kaki menelusuri jalur Desa Lam Teungoh ke
Ujung Pancuh untuk pemetaan. Jarak empat kilometer antardua desa itu mereka
tempuh lebih dari satu jam, di tengah terik matahari yang masih menyengat meski
sudah pukul 15.00. Itulah sebabnya mereka disebut arsitek jalanan. Di sebuah
barak kami buat janji dan bertemu. Kebetulan seluruh anggota tim
arsitek jalanan hadir sehabis seharian bekerja.
Ketujuh anggota tim arsitek jalanan itu ialah Yuli
Kusworo, Adi Chris, Ariawan, dan Ian yang masing-masing sudah sarjana teknik
(arsitektur). Sedang Ambar, Doni Wardana, dan Sigoel adalah mahasiswa tingkat
akhir Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Ariawan dan Ian malah sudah
menjadi konsultan. Kecuali Ian yang jebolan teknik sipil Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta, selebihnya beralmamater Duta Wacana.
Tujuh arsitek jalanan ini sudah banyak makan asam
garam dalam memberikan advokasi permukiman kepada warga berkekurangan.
Sebagian dari mereka, misalnya, pernah bekerja dua
tahun di stren kali Surabaya dan permukiman nelayan tepi teluk di Lampung.
Meski mengaku bukan bagian dari Urban Poor Consortiums (UPC), mereka hadir di
Aceh karena UPC juga, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian
pada warga berkekurangan. Cara mereka bekerja lebih bersifat bottom-up, yakni
menampung aspirasi dari tingkat bawah terkait dengan permukiman seperti apa
yang mereka inginkan pascatsunami. Warga 14 desa di tiga kecamatan (Peukan
Bada, Meuraxa, dan Jaya Baru) dipersilakan memilih konsep permukiman
sendiri-sendiri sesuai kebutuhan. "Hampir seluruh warga desa menganggap
bencana itu datang dari ’Atas’ sehingga yang mereka perlukan hanya ke mana dan
bagaimana cara menyelamatkan diri bila tsunami datang. Untuk itu, konsep kita
adalah menciptakan ’escape hill’ dengan memperlebar badan jalan hampir dua kali
lipat sebelumnya," kata Yuli.
Beberapa pekan belakangan tersiar kabar adanya
masterplan dari Jakarta lewat Bappenas dan Departemen Pekerjaan Umum untuk
merekonstruksi wilayah Aceh yang terkena tsunami. Beberapa wilayah pantai
terbagi dalam beberapa zona penyangga alias buffer zone. Namun, penerapan
zona-zona penyangga itu disinyalir menjauhkan nelayan dengan laut karena bagian
terdepan zona penyangga adalah hutan bakau, lebih ke dalam ada tambak, kawasan
hijau, dan seterusnya. Masterplan itulah yang ditakuti nelayan.
MENURUT
Yuli, masterplan mereka yang dirinci lebih detail itu tidak jauh beda dengan
yang dibuat orang-orang Jakarta. Yang membedakan hanyalah mereka
datang, menyapa, dan bertanya langsung apa yang warga inginkan. Tidak jarang
arsitek jalanan ini membentang peta kecamatan dalam bentuk fotokopian di
tengah- tengah reruntuhan desa, di tenda, atau di barak-barak sementara. Sudah
biasa mereka menginap di barak-barak untuk berdiskusi langsung dan merasakan
derita warga. Lewat
pendekatan bottom-up inilah warga tidak ragu melepaskan tanah yang dulu mereka
miliki untuk dijadikan fasilitas umum maupun fasilitas sosial di bibir pantai.
Warga, misalnya, tidak menolak jika permukiman mereka bergeser agak ke dalam,
mendekati bukit agar mereka bisa melarikan diri bila datang tsunami.
"Apa
yang warga inginkan kita terjemahkan ke dalam gambar, mana sawah mana meunasah.
Rekonstruksi wilayah baru kita coba tawarkan untuk kemandirian dan merangsang
berkehidupan. Pendeknya, gambar wilayah baru yang kita buat tidak jauh beda
dengan konsep wilayah sebelum kena tsunami," papar Yuli.
Dari
14 desa yang mereka garap, proyek percontohan mereka lakukan di dua desa;
Meunasah Tuha dan Lam Teungoh. Tidak semua konsep itu bisa diterima di desa
lainnya karena antardesa berbeda kebiasaan, juga bisa beda pengertian soal
tanah leluhur. Itulah pentingnya datang dan menyapa langsung warga. Berkat cara
itu, warga Desa Meunasah Tuha dan Lam Teungoh sudah bulat menerima rancangan
wilayah yang disodorkan tujuh arsitek jalanan ini. Soal desain rumah,
sebagaimana dituturkan Adi Chris, tidak terlalu mereka pikirkan karena semuanya
diserahkan kepada warga.
"Warga
memberi gambaran sendiri-sendiri, lalu kita terjemahkan. Misalnya perhitungan
perkiraan biaya yang dibutuhkan tiap satu rumah yang hendak mereka
bangun," katanya. Dari masterplan desa yang paling bawah, mereka bergerak
ke masterplan kecamatan, kabupaten, dan seterusnya yang pada akhirnya terbentuk
masterplan utuh terintegrasi, baik drainase, jalan, sampai ke persoalan
listrik.
Sebelum
sebuah wilayah baru tercipta, warga dimukimkan di temporary shelter alias barak
sementara yang bahan-bahannya berasal dari reruntuhan tsunami yang mereka daur
ulang. "Kita hanya memberi pendampingan saja," kata Adi lagi
SIGOEL
yang berambut gimbal menyebut diri mereka plus kiprahnya itu sebagai
"arsitek alternatif" yang belajar banyak dari rakyat. "Kegiatan
arsitek yang sesungguhnya ya di rakyat itulah, menyatu dengan rakyat dan tidak
hanya duduk di kantor," katanya.
Ambar yang berstatus calon sarjana teknik
(arsitektur) angkat bicara. Baginya yang masih mahasiswa, apa yang dilakukannya
itu lebih dari sekadar kerja lapangan untuk membuat sebuah tugas akhir skripsi.
"Saya bisa membuat tesis dari kegiatan
ini," katanya terkekeh. Sigoel yang juga masih kuliah menambahkan,
"Di ruang kuliah, kami kerap diberi soal-soal fiktif. Di sini kami diberi
soal-soal yang nyata."
Ketujuh arsitek jalanan yang sudah tiba di Aceh
beberapa hari setelah bencana tsunami masih akan terus bekerja hingga akhir
April. Masing-masing diberi honor Rp 1,3 juta per bulan yang mereka sebut
sebagai "honor relawan".
Kalaupun mereka ingin lekas pulang, tak lain karena
mereka sudah kangen sama pacar. "Selama di sini, saya pacaran di ujung
jempol dengan mengirimkan pesan-pesan pendek melalui handphone," kata
Ambar. (PEPIH NUGRAHA)
Digunting dari: Kompas, 18 Maret 2005
1 Komentar:
Agen Bola
Agen Judi
Agen Judi Bola
Agen Judi Online
Agen Casino Online
Agen Sbobet
Agen 338a
Agen Ibcbet
Agen Asia77
Agen 1scasino
Agen Asiapoker77
Bonus
Prediksi Bola
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda