Rabu, 24 Desember 2014

Arsitek Jalanan: Di Ujung Jempol Mereka Pacaran



JANGAN membayangkan seorang arsitek berdasi, berkemeja merek ternama, berparfum mahal, dan duduk di ruang kerja nyaman berpendingin ruangan. Tujuh arsitek ini berbeda bagai langit dan comberan bila harus dibandingkan dengan arsitek di kota-kota besar. Kantor mereka adalah bumi Aceh di bagian yang paling parah akibat terjangan tsunami.

KERTAS kerja yang berserakan di sekeliling adalah puing-puing. Atap adalah langit biru dengan angin laut Selat Malaka sebagai pendingin udara alaminya. Mereka adalah arsitek jalanan dalam arti sesungguhnya; bekerja di tengah reruntuhan desa dan bahkan di samping tumpukan jenazah. 

"Pernah, pada awal-awal tsunami saat tim evakuasi belum datang, dua rekan kami hengkang dari Aceh karena harus tidur dengan sembilan belas jenazah," kata Ambar, satu dari tujuh arsitek yang saya temui di dekat reruntuhan Desa Meunasah Tuha, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, Kamis (10/3).Siang itu Ambar dan dua rekannya baru saja berjalan telanjang kaki menelusuri jalur Desa Lam Teungoh ke Ujung Pancuh untuk pemetaan. Jarak empat kilometer antardua desa itu mereka tempuh lebih dari satu jam, di tengah terik matahari yang masih menyengat meski sudah pukul 15.00. Itulah sebabnya mereka disebut arsitek jalanan. Di sebuah barak kami buat janji dan bertemu. Kebetulan seluruh anggota tim arsitek jalanan hadir sehabis seharian bekerja.

Ketujuh anggota tim arsitek jalanan itu ialah Yuli Kusworo, Adi Chris, Ariawan, dan Ian yang masing-masing sudah sarjana teknik (arsitektur). Sedang Ambar, Doni Wardana, dan Sigoel adalah mahasiswa tingkat akhir Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Ariawan dan Ian malah sudah menjadi konsultan. Kecuali Ian yang jebolan teknik sipil Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, selebihnya beralmamater Duta Wacana.
Tujuh arsitek jalanan ini sudah banyak makan asam garam dalam memberikan advokasi permukiman kepada warga berkekurangan.

Sebagian dari mereka, misalnya, pernah bekerja dua tahun di stren kali Surabaya dan permukiman nelayan tepi teluk di Lampung. Meski mengaku bukan bagian dari Urban Poor Consortiums (UPC), mereka hadir di Aceh karena UPC juga, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian pada warga berkekurangan. Cara mereka bekerja lebih bersifat bottom-up, yakni menampung aspirasi dari tingkat bawah terkait dengan permukiman seperti apa yang mereka inginkan pascatsunami. Warga 14 desa di tiga kecamatan (Peukan Bada, Meuraxa, dan Jaya Baru) dipersilakan memilih konsep permukiman sendiri-sendiri sesuai kebutuhan. "Hampir seluruh warga desa menganggap bencana itu datang dari ’Atas’ sehingga yang mereka perlukan hanya ke mana dan bagaimana cara menyelamatkan diri bila tsunami datang. Untuk itu, konsep kita adalah menciptakan ’escape hill’ dengan memperlebar badan jalan hampir dua kali lipat sebelumnya," kata Yuli.

Beberapa pekan belakangan tersiar kabar adanya masterplan dari Jakarta lewat Bappenas dan Departemen Pekerjaan Umum untuk merekonstruksi wilayah Aceh yang terkena tsunami. Beberapa wilayah pantai terbagi dalam beberapa zona penyangga alias buffer zone. Namun, penerapan zona-zona penyangga itu disinyalir menjauhkan nelayan dengan laut karena bagian terdepan zona penyangga adalah hutan bakau, lebih ke dalam ada tambak, kawasan hijau, dan seterusnya. Masterplan itulah yang ditakuti nelayan.

MENURUT Yuli, masterplan mereka yang dirinci lebih detail itu tidak jauh beda dengan yang dibuat orang-orang Jakarta. Yang membedakan hanyalah mereka datang, menyapa, dan bertanya langsung apa yang warga inginkan. Tidak jarang arsitek jalanan ini membentang peta kecamatan dalam bentuk fotokopian di tengah- tengah reruntuhan desa, di tenda, atau di barak-barak sementara. Sudah biasa mereka menginap di barak-barak untuk berdiskusi langsung dan merasakan derita warga. Lewat pendekatan bottom-up inilah warga tidak ragu melepaskan tanah yang dulu mereka miliki untuk dijadikan fasilitas umum maupun fasilitas sosial di bibir pantai. Warga, misalnya, tidak menolak jika permukiman mereka bergeser agak ke dalam, mendekati bukit agar mereka bisa melarikan diri bila datang tsunami.

"Apa yang warga inginkan kita terjemahkan ke dalam gambar, mana sawah mana meunasah. Rekonstruksi wilayah baru kita coba tawarkan untuk kemandirian dan merangsang berkehidupan. Pendeknya, gambar wilayah baru yang kita buat tidak jauh beda dengan konsep wilayah sebelum kena tsunami," papar Yuli.
Dari 14 desa yang mereka garap, proyek percontohan mereka lakukan di dua desa; Meunasah Tuha dan Lam Teungoh. Tidak semua konsep itu bisa diterima di desa lainnya karena antardesa berbeda kebiasaan, juga bisa beda pengertian soal tanah leluhur. Itulah pentingnya datang dan menyapa langsung warga. Berkat cara itu, warga Desa Meunasah Tuha dan Lam Teungoh sudah bulat menerima rancangan wilayah yang disodorkan tujuh arsitek jalanan ini. Soal desain rumah, sebagaimana dituturkan Adi Chris, tidak terlalu mereka pikirkan karena semuanya diserahkan kepada warga.

"Warga memberi gambaran sendiri-sendiri, lalu kita terjemahkan. Misalnya perhitungan perkiraan biaya yang dibutuhkan tiap satu rumah yang hendak mereka bangun," katanya. Dari masterplan desa yang paling bawah, mereka bergerak ke masterplan kecamatan, kabupaten, dan seterusnya yang pada akhirnya terbentuk masterplan utuh terintegrasi, baik drainase, jalan, sampai ke persoalan listrik.

Sebelum sebuah wilayah baru tercipta, warga dimukimkan di temporary shelter alias barak sementara yang bahan-bahannya berasal dari reruntuhan tsunami yang mereka daur ulang. "Kita hanya memberi pendampingan saja," kata Adi lagi

SIGOEL yang berambut gimbal menyebut diri mereka plus kiprahnya itu sebagai "arsitek alternatif" yang belajar banyak dari rakyat. "Kegiatan arsitek yang sesungguhnya ya di rakyat itulah, menyatu dengan rakyat dan tidak hanya duduk di kantor," katanya.

Ambar yang berstatus calon sarjana teknik (arsitektur) angkat bicara. Baginya yang masih mahasiswa, apa yang dilakukannya itu lebih dari sekadar kerja lapangan untuk membuat sebuah tugas akhir skripsi.
"Saya bisa membuat tesis dari kegiatan ini," katanya terkekeh. Sigoel yang juga masih kuliah menambahkan, "Di ruang kuliah, kami kerap diberi soal-soal fiktif. Di sini kami diberi soal-soal yang nyata."
Ketujuh arsitek jalanan yang sudah tiba di Aceh beberapa hari setelah bencana tsunami masih akan terus bekerja hingga akhir April. Masing-masing diberi honor Rp 1,3 juta per bulan yang mereka sebut sebagai "honor relawan".

Kalaupun mereka ingin lekas pulang, tak lain karena mereka sudah kangen sama pacar. "Selama di sini, saya pacaran di ujung jempol dengan mengirimkan pesan-pesan pendek melalui handphone," kata Ambar. (PEPIH NUGRAHA)


Digunting dari: Kompas, 18 Maret 2005