Selasa, 12 November 2013

Participatory Planning and Designing: Satu Cerita dari Pulau Bungkutoko, Kota Kendari

Tulisan ini merupakan rangkuman cerita tentang pengalaman riil bagaimana melakukan perencanaan partisipatif (participatory planning) bersama seluruh warga 65 KK miskin dari Suku Muna, suku yang secara turun temurun mewarisi mata pencaharian sebagai nelayan tangkap. Mereka tinggal lebih dari 20 tahun di Pulau Bungkutoko, Kota Kendari dengan ciri rumah panggung dari kayu, tinggal di tepi pantai secara informal di lahan milik privat.

Pada tahun 2011 ada rencana dari pemilik lahan untuk menjual lahannya dan menggusur permukiman nelayan suku Muna. Penjualan lahan dilakukan karena Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara akan merubah tata ruang wilayah Pulau Bungkutoko dari kawasan permukiman menjadi kawasan pelabuhan.













Bersama Urban Poor Consortium (UPC) dan Germis (organisasi rakyat), warga yang telah memiliki kelompok tabungan sejak tahun 2008 mengorganisasikan kembali untuk melakukan negosiasi kepada Pemerintah Kota Kendari atas rencana pemerintah tersebut.  Negosiasi dilakukan kepada Walikota Kendari untuk mendapatkan tanah pengganti di sekitar pulau, masih di tepi pantai. Pada tahun 2010 akhirnya warga mendapat kepastian untuk diberi lahan dari walikota Kendari seluas 1,8 hektar yang lokasinya sesuai permintaan warga, yaitu 500 meter sisi selatan pulau.    

Arsitek dan planner komunitas dari Yogyakarta dan Makassar diundang oleh UPC untuk terlibat melakukan proses perencanaan partisipatif bersama warga, pelatihan tukang dan pengawasan pembangunan. Perencanaan dilakukan setelah proses pemetaan masalah dan potensi selesai disusun oleh tim CO dari UPC dan Germis. Perencanaan partisipatif dilakukan dengan 3 hari workshop, mulai dari pemahaman tentang peta, skala gambar, kebutuhan-kebutuhan dasar yang permukiman yang akan direncanakan, perencanaan infrastruktur dan sanitasi, kebutuhan ruang publik, ukuran tanah per KK, desain rumah dan perencanan sistem pembangunan.


Proses perencanaan melibatkan seluruh warga tanpa terkecuali. Meletakkan warga sebagai subyek perencanaan adalah sebuah pendekatan lain dari proses konvensional yang biasa dilakukan oleh konsultan atau para ahli. Keseluruhan proses menggambarkan betapa pentingnya warga memahami satu sama lain. Perencana dan arsitek tidak serta merta menentukan idenya, namun justru memfasilitasi ide-ide liar dari warga yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah karena rasa antusiasme yang tinggi untuk ikut serta mengusulkan ide. Berbeda ide, mendiskusikan dan menyatukan sebagai sebuah kesepakatan tentunya bukan hal gampang, apalagi ini merupakan proses pertama bagi warga. Menyepakati luas kavling, siapa dimana, lebar jalan, letak fasum, model rumah, jenis material yang dipakai merupakan proses mencipta pengetahuan secara kolektif.





















Proses menarik ketika melakukan pembahasan tentang desain rumah. Pada awalnya sebagian besar warga memilih untuk membangun rumah baru dengan rumah tembok, bukan rumah panggung sebagai identitas asli suku Muna. Alasan pemilihan kenapa rumah tembok dan tidak panggng, karena rumah panggung yang mereka miliki materialnya mudah rusak, tangga sering membuat anak-anak jatuh, ruangan bawah panggung tidak bisa dimanfaatkan untuk aktifitas dan terkesan kumuh dan miskin. Sedangkan rumah tembok dirasa lebih modern, tahan lama dan tidak kumuh. Namun para Arsitek Komunitas yang memfasilitasi proses desain berusaha untuk memberikan pilihan bahwa rumah panggung bisa didesain dengan baik, tahan lama, aman untuk anak-anak dan tidak kumuh. Rumah panggung adalah identitas Suku Muna, sehingga harus dipertahankan dengan cara merevitaisasi desain, pemilihan material dan sistem konstruksi yang benar. Dengan pembahasan yang cukup alot, akhirnya warga secara keseluruhan sepakat untuk tetap mempertahankan ciri rumah panggung.

Sedangkan pelatihan tukang dilakukan selama 1 minggu dengan mendatangkan master tukang kayu dari kota Makasar, Daeng Sampara dan Daeng Tuppu, dengan didampingi oleh arsitek komunitas senior dari Arkomjogja. Pelatihan tukang dilakukan dengan cara membangun langsung 1 rumah panggung sebagai model. Pelatihan diperlukan karena tidak ada satupun tukang yang mempunyai keahlian membangun rumah panggung, mereka mempunyai kemampuan dasar mengolah kayu menjadi perahu untuk menangkap ikan. Membangun rumah dengan cara membangun sendiri rumahnya secara bergotong royong adalah cara baru, sekaligus pelajaran berharga untuk tukang-tukang lokal mengenali teknik pertukangan tradisional.

Setelah pelatihan tukang dirasa cukup memberikan tambahan pengetahuan teknis tentang sistem konstruksi rumah panggung, maka pembangunan langsung diteruskan untuk 64 rumah yang lain dengan cara gotong royong secara berkelompok, sesuai kelompok tabungan. Pemahaman yang sama, pengawasan ketat dan semangat yang kuat untuk segera memiliki rumah, akhirnya proses konstruksi selesai dalam waktu 95 hari kerja, dan permukiman baru Suku Muna di Pulau Bungkutoko diresmikan oleh Menteri Sosial bersama Walikota Kendari, karena kerjasama antara ACCA, Pemerintah Kota Kendari dan Kementrian Sosial RI, UPC, Germis dan Arkom Indonesia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda