Selasa, 17 Mei 2011

Belajar dari Komunitas Miskin di Bangkok (1)


Salah satu keberhasilan program Asian Coalition for Community Action (ACCA) di Thailand yang sudah dijalankan sejak Januari 2004, adalah keberhasilan CODI (Community Organization and Development Institute) dalam melakukan pengorganisasian komunitas-komunitas miskin kota. Mereka tidak sekedar melakukan COmmunity Development (CD) namun yang dilakukan bersama komunitas adalah 'pengorganisasian'.

Program ACCA adalah program 'slum upgrading' atau perbaikan kampung yang diinspirasi dari KIP (Kampung Improvement Program) oleh Prof Johan Silas dan MHT (Mohammad Husni Thamrin) yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta (alm) Ali Sadikin. Sayang seribu sayang program yang sederhana dan sangat aplikatif ini tidak dilanjutkan oleh pemerintah (mungkin) karena dianggap tidak memberikan keuntungan 'proyek' bagi sebagian orang. ya, karena program ini dilakukan dengan partisipasi penuh komunitas-komunitas miskin kota.

Jika kita tengok lebih dalam, apa yang terjadi di Thailand sungguh mencengangkan dan memberi tamparan bagi kita. Thailand sejak 2004 berhasil mengentaskan kampung miskin kota (slum) di lebih dari 300 kota hingga akhir 2010, hanya dengan program ACCA. Program dilakukan sangat partisipatif tanpa harus mengeluarkan banyak uang, apalagi harus berhutang kepada 'rentenir' Internasional.

Pemerintah melalui CODI cukup memberikan sejumlah uang dalam bentuk hibah dan pinjaman bergulir (bunga sangat rendah dan jangka panjang), dengan memberi keleluasaan kepada komunitas apakah uang tersebut akan digunakan untuk bersama-sama membangun rumah, infrastruktur, atau bahkan membeli tanah secara bersama. Skema terbuka dan fleksibel ini yang membuat program ACCA berhasil.


Tabungan sebagai Kekuatan Rakyat Miskin Kota

Salah satu syarat untuk bisa mengakses dana ACCA dari pemerintah melalui CODI adalah tabungan komunitas. Komunitas bersama-sama harus mempunyai sejumlah tabungan yang dikelola secara bersama dengan jumlah tertentu. Bukan nilai yang akan dilihat, namun lebih pada semangat dan niat untuk maju melalui budaya menabung. Bila seluruh warga sudah secara rutin melakukannya, dengan mudah mereka akan mendapatkan akses dana ACCA.


Salah satu contoh adalah komunitas 'homeless people' di pinggir rel salah satu sudut di Bangkok. Sementara ini mereka, 40 KK, menempati gubug-gubug di sepanjang bantaran rel KA. Warga menabung dengan cara sederhana. Mereka membuat kotak kaca yang ditempel foto masing-masing kepala keluarga dan diberi nama. Sebelumnya disepakati masing-masing KK diwajibkan menabung atas dasar standar minimal pendapatan harian. Tabungan dibagi menjadi 3 pos: dana sosial 20 Bath/bulan, dana umum 20 Bath/bulan, dana pembangunan 100 Bath/bulan.

Di setiap akhir bulan tabungan tersebut dihitung bersama-sama, sehingga semua orang tahu siapa yang kurang dan dibahas dalam pertemuan kenapa tabungannya tidak penuh. Mekanisme ini untuk mendorong rasa kebersamaan dan keterbukaan untuk menghasilkan sebuah solusi bersama-sama tanpa mengurangi orang-orang yang tidak mampu.

Melalui CODI, warga diajak bertemu dan menegosiasikan masalah permukiman mereka kepada otoritas rel KA. Warga ingin membenahi permukimannya, pemerintah akan memfasilitasi sebagian dana, CODI membantu proses perencanaan dan pendampingan, otoritas rel KA diminta menyewakan lahannya dalm jangka tertentu. Evaluasi dilakukan setiap akhir bulan hingga CODI menganggap proses menabung warga dianggap lancar untuk mendapat akses dana ACCA.

Proses lain yang dilakukan adalah negosiasi. Warga dipertemukan dengan pemerintah dan pemilik lahan. Pihak otoritas rel KA memberikan solusi bahwa warga dapat menyewa bantaran rel KA selama 10 tahun bila mau mundur 10 meter, hak sewa diberikan 15 tahun bila warga mau mundur 15 meter. opsi tersebut sangat sederhana dan masuk akal, tidak berbelit dan terlihat sangat aspiratif sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan masalah permukiman kumuh.

Bangkok, 27 Januari 2011

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda