Rabu, 24 Desember 2014

Rumah Sementara Paska Tsunami Aceh


Beberapa rumah pada foto ini memberi makna luar biasa, menyimpan segudang cerita atas perjalanan para penyintas tsunami Aceh membangun kembali kehidupannya. Setidaknya ada 4 rumah yang sebulan lalu saya dapati, di gampong Lamteungoh, Kecamatan Peukanbada, Kabupaten Aceh Besar.
Rumah-rumah kayu tersebut memiliki nilai sejarah luar biasa. Bagaimana tidak? Rumah2 tersebut ternyata masih dipertahankan oleh warga sebagai pengingat kejadian maha dahsyat Tsunami Aceh 26 Desember 2004. Meski terkesan kusut pada penampakan dinding dan atapnya, namun buat saya ini merupakan karya arsitektur yang orisinil dan cerdas dari para penyintas.

Dinding dan strukturnya terbuat dari kayu seumantok (kayu kelas 1 khas Aceh) yang dikumpulkan warga dari puing-puing tsunami. Artinya rumah tersebut sebenarnya didirikan dari puluhan bekas rumah sebelum tsunami menerjang. Mungkin rangkanya dari bekas atap rumah seseorang dan dinding-dindingnya pun ditutup dengan papan yang pasti juga berasal dari banyak rumah.
Sekali lagi mendefinisikan ulang, bahwa material kayu lebih permanen dari beton. Kenapa? Ya hanya kayu lah yang bisa dimanfaatkan kembali menjadi rumah-rumah tinggal para penyintas. Sementara beton sama sekali tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk membangun rumah setelah tsunami.
Yang luar biasa adalah tumah-rumah ini dibangun sendiri oleh warga beberapa hari setelah tsunami menerjang. Saat itu warga dihantui kebijakan relokasi 2 kilometer zona aman, artinya tak ada permukiman penduduk yang boleh didirikan di pesisir pantai. Satu kecerdasan yang kemudian kami replikasi. Hal ini yang kemudian ditentang oleh warga yang notabene adalah nelayan, kehidupannya di laut.



Rumah ini adalah spirit gerakan pulang kampung. Geuchik Baharuddin adalah salah satu inisiator gerakan ini. Berbekal nekat, beliau mengajak para tentangga yang masih selamat untuk meninggalkan barak, pulang kampung mengumpulkan kayu dan papan untuk membangun hunian sementara. Gerkana ini masif terjadi di hampir seluruh kampung pesisir, menguatkan solidaritas dan menjadi sebuah gerakan perlawanan rakyat atas kebijakan yang dibuat BAPPENAS.

Selain simbol rumah tersebut sebagai perlawanan atas kebijakan, bagi para arsitek dan agen-agen pembangunan yang datang ke Aceh, ini juga merupakan tamparan. Karena di saat semua lembaga berpikir mendesain rumah, memilih material impor, kayu ber-ecolabel, baja ringand an bla bla bla..rakyat sudah bisa berpikir dan bertindak sendiri dengan cerdas. Pelajarannya adalah, mari kita selelu mendengarkan rakyat.

Yang saya bangga adalah, rumah-rumah tersebut saat ini (10 tahun pasca tsunami) masih berdiri dan dimanfaatkan warga sebagai gudang. Dan saya yakin bahwa kualitasnya pun jauh lebih baik dari rumah-rumah lain (yang dikatakan permanen) yang dibangun oleh kontraktor, yang sudah mulai korosi karena kualitasnya buruk.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda