Advokasi Planning: Opsi reblocking dan land-sharing versi warga miskin Kampung Pisang Makassar
Berikut cerita lain dari pengalaman Jaringan Arsitek Komunitas (ARKOM) Indonesia dalam berkegiatan memfasilitasi warga miskin yang menempati lahan informal di salah satu sudut Kota Makassar. Dari sini kita bisa belajar model perencanaan yang dibuat secara partisipatif dengan style advokasi.
Kampung Pisang adalah kampung miskin yang tumbuh secara spontan di lahan sengketa milik swasta seluas 3 hektar sejak tahun 2000-an, di tengah area strategis kawasan permukiman elit di tegah Kota Makassar. Terdapat 45 KK yang tinggal di Kampung Pisang dengan mata pencaharian beragam, yang rata-rata berada di sektor informal; tukang becak, tukang bangunan, pedagang, berkebun, dll. Sebagai kampung informal yang terancam digusur oleh pemilik lahan, maka warga bersama-sama mengorganisasikan diri di dalam Organisasi Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) Makassar bersama UPC. Advokasi kebijakan dilakukan dengan cara melakukan kontrak politik dengan calon Walikota pada tahun 2008, dengan butir-butir kesepakatan adalah jika terpilih walikota bersedia melakukan penataan kampung-kampung miskin di Kota Makassar dan tidak menggusur.
Setelah calon walikota terpilih dalam Pemilu maka
KPRM bersama warga kampung pisang mulai melakukan negoisasi sebagai tindak
lanjut kontrak politik untuk memastikan jaminan keamanan bermukim warga miskin
di Kampung Pisang. Proses negoisasi diawali dengan melakukan pemetaan dan
perencanaan partisipatif yang dilakukan bersama-sama oleh arsitek komunitas
Makassar dan Yogyakarta. Pemetaan kampung dilakukan untuk mengidentifikasi aspek
sosial, fisik dan lingkungan secara detail sebagai bagian dari proses pemahaman
komunitas terhadap wilayah sekitar. Setelah pemetaan menghasilkan data-data,
masalah dan potensi kampung, proses selanjutnya adalah melakukan workshop
perencanaan partisipatif kampung.
Menggunakan metode workshop 3 hari di Kampung
Pisang, Arsitek Komunitas memfasilitasi proses perencanaan dengan melihat hasil
pemetaan atas keinginan warga untuk tetap berada di wilayah Kampung Pisang dan
tidak ingin dipidah/direlokasi, karena alasan kedekatan dengan akses ekonomi
informal yang sudah terbangun. Opsi rebloking
dan land-sharing dipilih warga sebagai usulan realistis kepada pemerintah
kota dan pemilik lahan. Dari luas lahan 3 hektar yang dikuasai warga, diusulkan
lahan seluas 7000 m2 untuk dilakukan site planning.
Proses perencanaan dilakukan secara detail dengan memecahkan masalah yang muncul saat pemetaan, yaitu masalah sampah, sanitasi, jalan setapak dan drainase, akses masuk dan desain rumah menggunakan material alternatif dan bekas. Hasil perencanaan ini kemudian didokumentasikan oleh arsitek komunitas untuk dijadikan dokumen teknis dan dibawa oleh warga kepada walikota. Pada awal Tahun 2012 Walikota menerima usulan warga Kampung Pisang untuk disampaikan kepada pemilik lahan. Namun hingga saat ini proses negoisasi terancam gagal karena walikota mengingkari janji dan mengabaikan usulan warga. Yang terjadi justru walikota meminta warga untuk pindah lokasi kampung dengan disediakan lahan kosong berupa “empang” seluas 3000 m2 yang bisa ditimbun dan dijadikan area permukiman baru. Sementara warga menolak usulan walikota dan tetap memperjuangkan usulan reblocking dan land-sharing di atas lahan 7000 m2 seperti yang telah disepakati warga dan dilakukan bersama arsitek komunitas Makassar dan Yogyakarta.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda