Model Pengorganisasian Rakyat untuk Perbaikan Kampung berskala Kota
Merupakan program percontohan Community-driven Slum
upgrading pertama yang dilakukan oleh Arkomjogja secara independen, mulai dari
proses identifikasi lokasi kampung-kampung miskin di bantaran sungai di Kota
Yogyakarta, mengorganisir kampung, menjaringkan satu sama lain dalam sebuah
organisasi komunitas, hingga melakukan perbaikan infrastruktur dan fasilitas
bersama menggunakan teknologi alternatif seperti bambu serta melakukan program
renovasi rumah menggunakan sistem tabungan kelompok perempuan.
Menggunakan dana Small Project Asian Coalition for Community Action (ACCA) tahun 2010,
proses penataan kampung-kampung di bantaran sungai dimulai dengan melakukan
pemetaan dari salah satu kampung di bantaran Sungai Gajah Wong. Hasil pemetaan
digunakan untuk melakukan project pertama pembangunan jalan setapak paving blok
sepanjang 135 meter dengan cara gototng royong. Permasalahan lain yang muncul
di dalam pemetaan adalah masalah keamanan lahan bermukim karena berada di lahan
informal, yaitu lahan sultan ground. Hasil pemetaan ini digunakan untuk
mengidentifikasi lokasi kampung lain dengan masalah yang hampir mirip untuk
kemudian bekerja berjaringan memecahkan masalah permukimannya.
Proses memahami masalah dari kamupng ke kampung secara bersama, melakukan aksi dan bekerja secara berjaringan antar kampung adalah bagian dari metode Participatory Action Research (PAR) yang dikembangkan oleh para Arsitek Komunitas (ARKOM) Yogyakarta. Warga meriset sendiri wilayahnya, mencoba memahami maslah dan potensinya untuk kemudian melakukan aksi konkret atas hasil riset mereka sendiri.
Pada tahap pertama wakil-wakil warga bersama tim
Arkomjogja berhasil memetakan 7 kampung di bantaran Sungai Winongo dan Gajah
Wong. Hasil pemetaan menunjukkan permasalahan yang relatif sama tentang
keamanan bermukim di lahan informal dan rawan bencana, ketidakadilan program pemerintah
yang masuk ke wilayah kampung-kampung di bantaran sungai dan buruknya kulaitas
rumah dan infrastruktur yang ada. Untuk menguatkan semangat komunitas dalam
memecahkan masalah bersama, dilakukan project kecil seperti pembangunan balai
warga dari bambu, MCK umum dan perbaikan tanggul sungai.
Hasil pemetaan di 7 kampung kemudian dikembangkan
lagi untuk melakukan pemetaan tahap 2 dengan konsep city-wide, yang akhirnya
didapat peta 31 kampung di 2 bantaran sungai, yang dilakukan sendiri oleh
warganya. Di dalam peta memuat berbagai masalah permukiman seperti buruknya
kondisi fisik rumah, tidak mempunyai sistem sanitasi dan pengolahan limbah,
buruknya jalan setapak, maslah tanggul, minimnya MCK, tidak adanya fasilitas
bersama seperti balai warga dan yang paling utama ditemukan bahwa 31 kampung menempati
lahan informal. Secara spesifik hasilnya adalah 16 komunitas di bantaran Winongo
dan 15 komunitas di bantaran Gajah Wong, 5779 jiwa, 1693 KK menempati lahan informal yang tidak aman:
·
13 komunitas tinggal di lahan informal
·
4 komunitas tinggal di lahan milik sultan (Sultan Ground)
·
9 komunitas tinggal di lahan privat dengan sewa secara informal
·
3 komunitas tinggal di lahan milik pemda
·
2 komunitas menempati lahan bermasalah (sengketa)
Masalah mendasar yang muncul di komunitas-komunitas tersebut adalah 774 jiwa di 11 komunitas kondisi jalannya buruk, 834 jiwa di 14 komunitas permukimannya tidak memiliki sistem drainase, 3.175 jiwa di 24 komunitas membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai, 524 jiwa di 11 komunitas tidak memiliki MCK, 1.360 jiwa di 23 komunitas membuang sampah langsung ke sungai.
Hasil pemetaan di 31 kampung ini digunakan sebagai
dasar untuk membangun organisasi komunitas di tingkat kota, yaitu Paguyuban
Kali Jawi. Pada bulan Juli 2012 31 kampung mulai berorganisasi dan berjaringan
bersama. Organisasi adalah alat untuk melakukan advokasi kepada pemeringah kota
agar wilayahnya lebih diperhatikan untuk dilakukan penataan. Sementara dana
dari ACCA digunakan untuk menyelesaikan masalah kampung secara berkelompok
dengan memulai gerakan menabung harian oleh perempuan.
Gerakan menabung dilakukan untuk modal memecahkan
masalah kampung masing-masing dengan dibagi menjadi 2 peruntukan, yaitu untuk
dana rehabilitasi fasilitas bersama dan tabungan renovasi rumah. Untuk tabungan
infrastruktur digunakan sistem pinjaman dari kelompok yang ingin melakukan
pembangunan infrastruktur dengan plafond anggaran maksimal 1,000 USD.
Arkomjogja memperkenalkan teknologi alternatif menggunakan bambu awet untuk
membangun balai warga, di samping pembangunan lain seperti jalan setapak,
tanggul sungai dan MCK umum. Prosses dilakukan dengan melakukan perencanaan
kampung, pembuatan desain dan pembuatan anggaran material. Oleh karena itu, semua produk fisik yang dihaslikan oleh masyarakat di Kali Jawi adalah bukan ending atau tujuan, namun hanya sebagai alat untuk mencapai cita-cita besar menuju perubahan, yaitu pemenuhan hak bermukim, kemandirian dan terorganissasinya masyarakat.
Kelompok tabungan
membentuk tim konstruksi dan jadwal kerja gotong royang per kelompok, disertai
modal yang telah ada dari tabungan yang sudah berjalan. Sedangkan tabungan
renovasi rumah dilakukan dengan sistem giliran perbulan, di masing-masing
kelompok di 19 kelompok. Prosesnya dilakukan dengan melakukan perencanaan
bersama rumah-rumah yang akan direnovasi, kemudian membuat gambar bersama dan
menghitung kebutuhan material. Dengan proses ini semua anggota kelompok
tabungan diharapkan mempunyai kemampuan dasar menggambar rumah (denah, tampak,
potongan) secara skalatis dan pembuatan rencana anggaran belanja renovasi rumah
masing-masing.
Proses membangun bersama warga juga digunakan untuk
menjaringkan kelompok mahasiswa arsitektur dari berbagai universitas untuk
terlibat kerja-kerja komunitas menggunakan material murah dan teknologi lokal.
Workshop bersama, kerja gotong royong secara periodik dilakukan sebagai bagian
dari proses belajar bersama dan menguatkan tim tabungan, tukang kampung,
arsitek komunitas dan universitas.
Tabungan dari 19 kelompok yang digunakan untuk
renovasi rumah sejak Juli 2012 hingga Juli 2013, telah terkumpul kas kelompok
sebanyak 6,200 USD dan telah merenovasi 55 rumah. Target renovasi rumah hingga
akhir 2013 adalah 102 unit rumah. Keberhasilan menjalankan sistem tabungan
kelompok dengan menggabungkan dana ACCA dan dana tabungan komunitas, digunakan
untuk melakukan advokasi kepada pemerintah kota agar terbangun kerjasama
strategis di tingkat kota, dengan mempromosikan dana pembangunan kota. Namun upaya
ini masih belum berhasil karena terkendala birokrasi formal yang belum mau
berubah. Akan tetapi kerjasama dengan pihak pemerintah kota, dinas-dinas
terkait pembangunan sudah terjalin bahkan DPRD Kota menawarkan kerjasama
strategis untuk perluasan wilayah kampung-kampung miskin di seluruh bantaraan
sungai. Selain itu beberapa usulan dari organisasi Kali Jawi hasil pemetaan
kampung, telah direalisasikan oleh pemda meskipun caranya masih belum sesuai
dengan harapan warga, dengan pengelolaan penuh perencanaan, manajemen dan
pembangunan oleh rakyat.
Yang membanggakan, setelah 14 bulan menabung, Paguyuban Kali Jawi telah berhasil mempunyai tabungan lebih dari 80 juta, berhasil merenovasi rumah tidak layak huni anggotanya sebanyak 82 rumah, membangun 3 balai bambu, beberapa MCK dan jalan setapak, tanpa perlu menunggu bantuan dari luar. Setidaknya prestasi Kali Jawi, yang di dalamnya 95% anggotanya adalah para ibu, telah menjawab anggapan dari sebagian pihak yang mengatakan bahwa Kali Jawi GAGAL.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda