Senin, 02 Agustus 2010

Usaha Warga Jakarta Utara Bikin Gas Sendiri (Contoh lain)


Sebuah Inisiatif dari Kampung Papanggo Ujung

Sedikit berbeda dengan usaha Pak Hartoyo di Kampung Rawamalang yang dengan kesadaran sendiri mencoba memanfaatkan potensi yang ada di kampungnya, warga Kampung Papanggo, Taman BMW, Jakarta Utara secara berkelompok mencoba mensiasati permasalahan lingkungannya, yang selama ini dianggap oleh berbagai pihak luar, termasuk Pemda DKI sebagai kampung kumuh yang identik dengan masalah sampah, sanitasi dan air bersih.

Korban gusuran di Taman BMW yang masih bertahan di lahan sekitar 3000 meter persegi, yang mayoritas lahannya adalah empang, sekitar 100 Kepala Keluarga mencoba melakukan rembug warga membahas bagaimana mereka bisa menunjukkan kepada Pemda DKI bahwa cap buruk yang selalu mereka terima adalah keliru. Hal ini yang selalu dijadikan kambing hitam bahwa kampung kumuh di Jakarta layak digusur dengan alasan untuk peremajaan dan perbaikan lingkungan kota.

Keterbatasan lahan, yang akhirnya memberi inspirasi bahwa mereka harus tinggal sementara waktu di dalam sebuah ‘rumah panjang’ (satu atap) mengingat ancaman gusuran di depan masih sangat besar. Berbekal iuran melalui kelompok tabungan, warga mulai mengumpulkan uang untuk memulai membuat rumah panggung dari bambu untuk ditinggali 42 Kepala Keluarga. Dengan semangat untuk memperbaiki lingkungannya, kelompok warga mulai membuat rancangan toilet komunal, dengan harapan limbahnya bisa dimanfaatkan sebagai energi alternative untuk memasak para ibu.

Kebutuhan toilet sangat penting karena sebelumnya warga buang air langsung ke waduk atau ke sungai. Tidak ingin dicap yang kotor dan jelek, warga segera merealisasikan pembuatan MCK komunal di sisa lahan diantara empang. Difasilitasi oleh Urban Poor Consortium (UPC) yang bekerjasama dengan Tim dari YPBB Bandung, warga diajak untuk bersama-sama membuat reaktor biogas untuk kapasitas 42 Kepala Keluarga. Menggunakan bahan dasar seadanya; bamboo bekas, kayu dolken, lembaran plastic, bilik bamboo, ban dalam bekas warga secara bergotong royong dan bergiliran setiap hari bekerja membangun MCK beserta reaktor biogasnya.

Reaktor dibuat menggunakan lembaran plastik yang biasa digunakan petani sebagai penutup permukaan tanah, sepanjang 6 meter, ditanam di dalam tanah sedalam 1,5 meter. Reaktor dibuat langsung di bawah 4 unit MCK komunal, mengingat lahan sangat sempit. Cara pembuatannya cukup sederhana, tali penymbung antara pipa dan tabung rector juga hanya menggunakan potongan ban dalam bekas. “Reaktor plastik ini memang hanya bisa bertahan sampai 2 tahun, sehingga kita buat sesederhana mungkin untuk perawatan dan penggantian plastic saat diperlukan”, kata Heri dari YPBB.

Dikerjakan selama 1,5 bulan akhirnya pembangunan 4 unit MCK beserta reactor biogas selesai. Tidak serta merta gas akan langsung keluar dari pipa yang sudah dialirkan ke dapur rumah nomor 1 dan 2 sebagai percontohan. Bila dalam tempo 1 bulan gas keluar dan bisa digunakan untuk memasak, pipa tinggal disalurkan ke dapur rumah yang lain yang jaraknya tidak berjauhan. Warga pun langsung bisa menggunakan MCK setiap hari. Rata-rata 1 unit MCK digunakan 20 orang setiap harinya. Warga dari luar lingkungan rumah sementara pun diperbolehkan memakai, dengan harapan semakin banyak pengguna, maka gas akan semakin cepat keluar karena pasokan kotoran yang masuk ke reaktor semakin banyak.
Pada hari ke-45, indikator gas yang dipasang menggunakan botol plastic bekas yang diisi air sudah mengeluarkan gelembung udara. Ini adalah pertanda bahwa gas sudah mulai keluar. Ternyata benar, kompor yang berada di rumah Pak Roni (rumah nomor 1) ternyata sudah bisa menyala. Akhirnya Pak Roni dengan semangat kebersamaan memindah kompornya ke selasar depan rumah, agar tetangga yang lain bisa ikut memakai gas untuk keperluan memasak dari hasil pengolahan yang mereka buat sendiri.

Sayang seribu sayang, belum ada 1 bulan warga menikmati kompor biogas buatan sendiri, kabar akan segera ada penggusuran besar-besaran di Taman BMW, termasuk di Papanggo Ujung. Dan berita ini ternyata bukan isapan jempol. Agustus 2008, gusuran dengan 5000 lebih pasukan memporakporandakan kampung Kebon Bayem, Taman BMW dan Papanggo Ujung. Rumah, Tempat Ibadah, dan semua fasilitas yang sudah dibangun warga, termasuk MCK dan Reaktor Biogas milik warga rata tanah oleh alat berat.

Sebuah pelajaran yang cukup menarik, inisiatif yang coba dilakukan oleh warga Jakarta yang mulai sadar lingkungan, menata dan memperbaikinya tidak berarti apa-apa ketika tidak ada ruang negosiasi dan dialog. Semoga tidak terulang kembali.

Usaha Warga Jakarta Utara Bikin Gas Sendiri


Berawal dari perbincangan di warung dengan Pak Hartoyo, pemilik warung kecil di Kampung Rawamalang, Cilincing, Jakarta Utara yang terinspirasi dari berita di televisi bahwa gas untuk kebutuhan dapur katanya bisa didapat dari memanfaatkan dan mengolah kotoran hewan ternak. Memang Pak Hartoyo adalah seorang peternak ulet. Pria asal Grobogan, Jawa Tengah ini sudah mulaibeternak di Jakarta Utara sejak 25 tahun lalu. Ia memelihara 8 ekor sapi, 100 ekor kambing dan 150 ekor bebek, dengan memanfaatkan lahan yang tak begitu lebar di pinggir sungai sebagai kandang ternak.

Apalagi melalui kelompok tabungan perempuan Kampung, Pak Hartoyo diberi informasi bahwa warga Papanggo juga baru mencoba memanfaatkan kotoran manusia menjadi gas untuk memasak. Mendengar kabar tersebut, dia pun menanyakan kepada Urban Poor Concortium (UPC) kemungkinan membuat hal yang sama untuk keluarganya (secara individu) dengan memanfaatkan kotoran ternak (bebek, kambing dan sapi) yang banyak dipelihara di Kampung Rawamalang.

Sebagai pendamping Kampung Rawamalang, UPC pun langsung menangkap ide Pak Hartoyo sebagai hal yang baik dan perlu dicoba sebagai percontohan, mengingat pada saat itu sedang dilakukan program bersama penataan kampung-kampung miskin di Jakarta Utara. Pembuatan Biogas individu sebagai kegiatan yang disatukan dengan kegiatan Penataan Kampung sekaligus memberi contoh untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Dengan memanfaatkan lahan sempit 2x4 meter persegi, reactor biogas sederhana dibuat menggunakan plastic dan ditanam di dalam tanah. Reaktor biogas dan instalasinya dibuat sangat sederhana dan menghabiskan uang swadaya Pak Hartoyo sebesar 1,7 juta rupiah.

Sedikit harus bersusah payah, karena lokasi kandang ternak berada di seberang jalan, membuat Pak Hartoyo setiap 2 hari sekali harus membawa 4 ember besar kotoran sapi menggunakan ember memasukkan ke reactor biogas. Melalui bak kontrol dari ember bekas, kotoran dimasukkan ke reactor secara perlahan dengan cara mengaduk dan dicampur air. Ini adalah kegiatan baru Pak Hartoyo. Menyenangkan katanya, karena sore dimasukkan kotoran, pagi berikutnya api sudah bisa keluar sangat besar. Indikator keluarnya gas dilihat dari tabung plastik ukuran 1 meter yang digantung di belakang rumah. Bila plastik itu mengembung, berarti gasnya penuh.

Bu Hartoyo pun saat ini selalu tersenyum karena sudah lebih dari 6 bulan menggunakan Biogas dan tidak pernah ada masalah teknis terhadap kompor ataupun reaktornya. “Saya tidak pernah mersa kawatir kalau kompor gas saya akan meleduk seperti yang banyak terjadi dan sudah banyak warga yang mulai bertanya dan tertarik akan kompor Biogas saya yang murah dan anti meleduk”, tegas Bu Hartoyo. Kegiatan sehari-harinya terbantu sekali dengan biogas karena Bu Hartoyo mengelola warung makan kecil di rumahnya.