Selasa, 17 Mei 2011

GALANG SOLIDARITAS, DUKUNG SEMAMPU KITA UNTUK PERLAWANAN KULTURATIF PENYINTAS MERAPI



Hiruk pikuk media yang memberitakan dahsyatnya Erupsi Merapi akhir Oktober 2010 lalu memberikan empati mendalam sesama anak bangsa untuk menggalang solidaritas, keprihatinan, bantuan materi dan lainnya. Keinginan untuk melihat langsung bagaimana kondisi para penyintas yang mengungsi dan tinggal di barak-barak terjadi secara masif dari berbagai daerah.

4 bulan pasca Erupsi Merapi, seiring meredupnya berita pemberitaan media tentang kondisi riil penyintas di pengungsian, di barak ataupun di kampung-kampung mereka yang hancur sedikit demi sedikit membuat kita semua mulai melupakan mereka. Yang muncul justru berita-berita bagaimana pemerintah sibuk mencari solusi dan penanganan pasca pencana hingga proses rekonstruksi dan rehabilitasi. Kita pun terbawa arus seakan semua masalah selesai oleh pemerintah, dengan kacamata pemerintah.

Kebijakan yang tidak partisipatif, berubah-ubah, lambat, ketidakpastian skenario penanganan jangka pendek-panjang, memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi para penyintas. 2600 unit hunian sementara yang dijanjikan oleh Pemerintah selesai akhir Januari 2011, hingga saat ini baru selesai 50% dengan kualitas sangat buruk. Skema relokasi, transmigrasi, kamuong-kampung dinyatakan tidak boleh dihuni lagi menjadi argumen pemerintah untuk mengantisipasi jatuhnya korban bila terjadi letusan kembali. Ini sangat bertentangan dengan keinginan warga kebanyakan, mengesampingkan kearifan lokal yang ada dimana penyitas sesungguhnya hidup berdampingan dengan Merapi.
Solidaritas belum berakhir, harus diteruskan.

Saat ini beberapa Dusun di 4-6 KM dari puncak Merapi, di Kabupaten Sleman sedang melakukan perlawanan kulturatif melalui kegiatan kerja bakti bersama membangun rumah di kampung-kampung yang telah hancur total. Kerja-kerja itu seakan menelanjangi kita semua, mereka sesungguhnya secara halus mengatakan: “KAMI BISA BANGUN SENDIRI, KAMI TAK BETAH HANYA DUDUK MENUNGGU DI BARAK, TANPA PEMERINTAH PUN KAMI AKAN BANGKIT SENDIRI”.

ARKOM (Arsitek Komunitas Jogja) bersama beberapa Lembaga Lokal mendorong proses ini semakin luas. Bersama penyintas setiap hari kita temani mereka. Tak perlu dengan uang seperti saat Tanggap Darurat dulu. Saat ini kebutuhannya sudah berbeda, ayo berikan apa yang kita punya untuk penyitas Merapi:

GENTENG BEKAS, PAKU, BATANG KAYU BEKAS (BERBAGAI UKURAN), PAPAN BEKAS, BAMBU, KLOSET BEKAS, PIPA PVC, GEDEG (BILIK BAMBU), TRIPLEKS, SENG, ASBES, TENAGA.

Kawan-kawan di sekitar Yogyakarta yang dirasa memiliki material-material bekas seperti tersebut di atas bisa langsung memberikan kepada para penyitas Merapi ARKOM akan menunjukkan lokasi-lokasinya dan mengajak para penyitas untuk berpartisipasi mengadakan transportasi untuk menjemput material-material tersebut. Untuk kawan-kawan di luar Yogyakarta, kami masih memikirkan sejauh mana material-material itu bisa efektif masuk dan mensupport para Penyintas Merapi secara cepat dan tepat.

Contak Person Tim ARKOM:
Yuli Kusworo – 081381532281
Lilik Rahmadi – 081328806797

Label:

Belajar dari Komunitas Miskin di Bangkok (1)


Salah satu keberhasilan program Asian Coalition for Community Action (ACCA) di Thailand yang sudah dijalankan sejak Januari 2004, adalah keberhasilan CODI (Community Organization and Development Institute) dalam melakukan pengorganisasian komunitas-komunitas miskin kota. Mereka tidak sekedar melakukan COmmunity Development (CD) namun yang dilakukan bersama komunitas adalah 'pengorganisasian'.

Program ACCA adalah program 'slum upgrading' atau perbaikan kampung yang diinspirasi dari KIP (Kampung Improvement Program) oleh Prof Johan Silas dan MHT (Mohammad Husni Thamrin) yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta (alm) Ali Sadikin. Sayang seribu sayang program yang sederhana dan sangat aplikatif ini tidak dilanjutkan oleh pemerintah (mungkin) karena dianggap tidak memberikan keuntungan 'proyek' bagi sebagian orang. ya, karena program ini dilakukan dengan partisipasi penuh komunitas-komunitas miskin kota.

Jika kita tengok lebih dalam, apa yang terjadi di Thailand sungguh mencengangkan dan memberi tamparan bagi kita. Thailand sejak 2004 berhasil mengentaskan kampung miskin kota (slum) di lebih dari 300 kota hingga akhir 2010, hanya dengan program ACCA. Program dilakukan sangat partisipatif tanpa harus mengeluarkan banyak uang, apalagi harus berhutang kepada 'rentenir' Internasional.

Pemerintah melalui CODI cukup memberikan sejumlah uang dalam bentuk hibah dan pinjaman bergulir (bunga sangat rendah dan jangka panjang), dengan memberi keleluasaan kepada komunitas apakah uang tersebut akan digunakan untuk bersama-sama membangun rumah, infrastruktur, atau bahkan membeli tanah secara bersama. Skema terbuka dan fleksibel ini yang membuat program ACCA berhasil.


Tabungan sebagai Kekuatan Rakyat Miskin Kota

Salah satu syarat untuk bisa mengakses dana ACCA dari pemerintah melalui CODI adalah tabungan komunitas. Komunitas bersama-sama harus mempunyai sejumlah tabungan yang dikelola secara bersama dengan jumlah tertentu. Bukan nilai yang akan dilihat, namun lebih pada semangat dan niat untuk maju melalui budaya menabung. Bila seluruh warga sudah secara rutin melakukannya, dengan mudah mereka akan mendapatkan akses dana ACCA.


Salah satu contoh adalah komunitas 'homeless people' di pinggir rel salah satu sudut di Bangkok. Sementara ini mereka, 40 KK, menempati gubug-gubug di sepanjang bantaran rel KA. Warga menabung dengan cara sederhana. Mereka membuat kotak kaca yang ditempel foto masing-masing kepala keluarga dan diberi nama. Sebelumnya disepakati masing-masing KK diwajibkan menabung atas dasar standar minimal pendapatan harian. Tabungan dibagi menjadi 3 pos: dana sosial 20 Bath/bulan, dana umum 20 Bath/bulan, dana pembangunan 100 Bath/bulan.

Di setiap akhir bulan tabungan tersebut dihitung bersama-sama, sehingga semua orang tahu siapa yang kurang dan dibahas dalam pertemuan kenapa tabungannya tidak penuh. Mekanisme ini untuk mendorong rasa kebersamaan dan keterbukaan untuk menghasilkan sebuah solusi bersama-sama tanpa mengurangi orang-orang yang tidak mampu.

Melalui CODI, warga diajak bertemu dan menegosiasikan masalah permukiman mereka kepada otoritas rel KA. Warga ingin membenahi permukimannya, pemerintah akan memfasilitasi sebagian dana, CODI membantu proses perencanaan dan pendampingan, otoritas rel KA diminta menyewakan lahannya dalm jangka tertentu. Evaluasi dilakukan setiap akhir bulan hingga CODI menganggap proses menabung warga dianggap lancar untuk mendapat akses dana ACCA.

Proses lain yang dilakukan adalah negosiasi. Warga dipertemukan dengan pemerintah dan pemilik lahan. Pihak otoritas rel KA memberikan solusi bahwa warga dapat menyewa bantaran rel KA selama 10 tahun bila mau mundur 10 meter, hak sewa diberikan 15 tahun bila warga mau mundur 15 meter. opsi tersebut sangat sederhana dan masuk akal, tidak berbelit dan terlihat sangat aspiratif sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan masalah permukiman kumuh.

Bangkok, 27 Januari 2011

Label:

Senin, 16 Mei 2011

Sampah Plastik, Warga Miskin dan Kota Makassar


Adalah Pak Jumiran (59 tahun) warga Kampung Kanal, bersama cucunya Adrianto (12 tahun) yang setiap hari meluangkan waktu kurang lebih 3 jam di atas jembatan kayu di kanal sekitar Jalan Nuri Baru, yang membelah Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Berbekal 1 kotak styrofoam bekas, yg biasa digunakan para nelayan untuk tempat ikan segar dan 1 ember bekas yang dipasang pada ujung galah bambu sepanjang 4 meter.


Sambil menunggu pelanggan menghampirinya, penarik bentor (becak motor) ini tidak mau membuang waktunya hanya untuk duduk santai. Pak Jumiran bediri di atas jembatan kayu pandangannya ke arah aliran air kanal yang keruh dengan sampah plastik yang mengapung. Sambil memegang galah, ia berusaha meraih berbagai sampah plastik seperti botol-botol plastik berbagai warna dan merk bekas minuman di dalam aliran kanal yang sangat lambat.

Hampir setiap hari aktifitas ini dilakukan dibantu cucunya sepulang dari sekolah. Dengan motivasi ekonomi, satu dari sekian puluh ribu warga miskin kota di Makassar (mungkin) melakukan pekerjaan seperti Pak Jumiran untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Memang sekilas terlihat sepele, namun yang dilakukan Pak Jumiran sungguh luar biasa. Betapa tidak, setiap minggu ia dan cucunya bisa mengumpulkan 5 karung botol plastik yang sudah dipilah menjadi 3 jenis.

Botol/gelas plastik bekas dengan warna bening, biasa didapat hingga 2 karung. Jenis ini bisa dijual ke pengepul dengan harga 3000 rupiah per kilogram. Plastik bekas dengan warna putih polos biasa hanya dapat 1 karung dab bisa laku 2000 rupiah per kilogram, sedangakan plastik bekas warna warni laku ke pengepul dengan harga 1800 rupiah per kilogram sebanyak 2 karung per minggu.

Biasanya Pak Jumiran menjual hasil tangkapannya setiap minggu ke pengepul yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggalnya. Pengepul plastik bekas yg ada di Jalan Nuri Baru, Kota Makassar menjual plastik-plastik bekas ke salah satu tempat untuk dipecah menjadi biji plastik yang kemudian dikirim ke Kota Surabaya dan dijual ke pabrik-pabrik plastik di sekitar Surabaya dan Sidoarjo.

Menghasilkan uang 58 ribu rupiah satu minggu adalah pekerjaan maksimal yang didapat Pak Jumiran bersama cucunya dari mengumpulkan plastik bekas di kanal. Uang yang didapat tak sebanding dengan pengeluaran hariannya. Becak motor sewa 30 ribu perhari, jadi kalau tak ada pelanggan Pak Jumiran harus keluarkan uang untuk bayar sewa bentornya. Belum lagi si cucu, Adrianto, yang selalu meminta 'setoran' 6 ribu rupiah ketika tahu kakeknya mendapat uang dari penjualan plastik bekas.


Mereka Bukan Masalah, tapi Inspirasi

Tanpa kita sadari, apa yang dilakukan oleh Pak Jumiran sebenarnya sangat inspiratif dan kontributif terhadap masalah kota. Betapa tidak, dengan sadar ia tahu bahwa ada masalah sampah di kota Makassar, terutama sampah plastik. Ia juga bisa menangkap peluang bahwa hanya dengan berdiri di atas jembatan bisa mendapat uang dengan cara mengambil dan mengumpulkan beberapa jenis sampah palstik. Kita bisa bayangkan bila di kota Makassar ada 100 orang Jumiran di setiap kecamatan.

Meski pemerintah telah membuat sistem penyaring sampah di kanal, yang dioperasikan menggunakan mesin untuk mengambil sampah2 yang ada di kanal, namun Pak Jumiran tahu persis bahwa mesin itu tidka membantu banyak. Buktinya dalam waktu 1 minggu hanya beberapa hari saja mesin beroperasi, sehingga volume sampah pun tetap tak berkurang. Pak Jumiran pun memastikan hal ini karena sebelum dan sesudah dipasangnya mesin penarik sampah dari kanal beberapa tahun lalu, hasil tangkapannya sama sekali tak berkurang.

Dari pengalaman yang dilakukan Pak Jumiran, kita menjadi tahu bahwa warga miskin kota sesungguhnya juga mempunyai peran signifikan dalam mengurangi sampah plastik yang selama ini selalu menghantui setiap kota. Ketika ada peluang bahwa sampah bisa menghasilkan uang, warga akan langsung menangkap hal ini sebagai sebuah peluang nyata. Tinggal bagaimana paradigma pemerintah sendiri dalam hal penanganan sampah. Membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir apakah memang solusi..? atau sesungguhnya hanya pola sistematis yang dilakukan pemerintah untuk MEMINDAHKAN saja..?


Makassar, 10 Mei 2011

Label: