Jumat, 29 Februari 2008

Kampung Miskin = RTH

INI dia nasib ruang terbuka hijau ibu kota. Ganti gubernur, ganti masterplan. Luasnya kian ciut: pada mulanya direncanakan bakal memakan sepertiga luas Jakarta, kini wilayah itu ditaksir tinggal seperlimabelasnya. Padahal, ruang terbuka hijau merupakan saka guru sebuah kota. Di sinilah oksigen diproduksi, karbon dioksida didaur ulang serta udara disaring dari debu. Bukan hanya itu, wilayah ini juga menjadi mesin pendingin kota, daerah resapan air, habitat satwa, dan tempat rekreasi. Karena fungsi ruang terbuka yang vital, pada Konferensi Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, luasnya dibakukan: tak boleh kurang dari 30 persen. Bagi Jakarta, itu berarti luas area terbuka harus setara dengan 20 ribu lapangan sepak bola.

Rencana Induk Jakarta (1965-1985), mengamanatka 37,2% Runag Terbuka Hijau di Jakarta. Setidaknya ada 5 kawasan yang ditetapkan sebagai daerah resapan air, hutan kota dan kawasan lindung. Hutan Tomang, Senayan, Kawasan Sunter, Kelapa Gading dan Kapuk.

Kita tengok ke belakang bagaimana perubahan dan nasib Ruang Terbuka Hijau (RTH) tersebut dari tahun ke tahun:

1971. Gubernur Ali Sadikin melepaskan 13 hektare RTH Senayan untuk pembangunan hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. Belakangan, hotel itu ternyata menjadi properti perusahaan keluarga Ibnu Sutowo.

1984. Luas ruang terbuka hijau 28,8%.

1990. Dua pertiga kawasan lindung Pantai Kapuk direklamasi menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk

1994. Hutan kota Tomang di Jakarta Barat dikonversi menjadi Mal Taman Anggrek

1995. Luas ruang terbuka hijau 24,9%

1996. Konversi besar-besaran RTH Senayan dimulai, ditandai dengan pembangunan Hotel Atlet Century dan Plaza Senayan

1997. Hotel Mulia dibangun di atas RTH Senayan menggunakan memo Presiden Soeharto

1998. Luas ruang terbuka hijau 9,6%.

1999. Gubernur Sutiyoso “memutihkan” pelanggaran ruang terbuka hijau dengan menerbitkan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010.

2000. Luas ruang terbuka hijau 9,4% (kritis)

2003. Luas ruang terbuka hijau 9,12%

2005. Pemerintah Daerah membangun apartemen di atas ruang terbuka Polumas. Pembangunan ini digagas sejak masa Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997)

2005. Kantor Wali Kota Jakarta Selatan dibangun di bekas pemakaman Blok P. Konversi ini digagas sejak zaman Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997)

2007. Luas RTH ditaksir tinggal 6,2 %

Pemerintah di Tahun 2008 ini sudah mulai melakukan penggusuran kampung miskin di Jakrta dengan dalih ’mengembalikan RTH’ untuk mencapai target 13,94% di Tahun 2010 (RTRW Jakarta 2000-2010). Setidaknya lebih dari 135 kapung miskin saat ini terancam. Tidak hana itu, kehidupan sosial ekonomi dan budaya warganya yang sudah melekat dengan lingkungannya akan kembali tercerai berai.

Paradigma pemerintah dengan melakukan penggusuran dan memberikan ganti rugi adalah tindakan yang tidak menyelesaikan masalah perkotaan. Yang muncul adalah bumerang dan bom waktu nuntuk kota Jakarta, karena warga yang digusur akan berpindah tempat dan mencari lokasi tempat tinggal lagi. Ini berarti akan akan ada permukiman ilegal (squatters) yang lain. Ibaratnya: ”Gusur satu, tumbuh seribu..”

Saya coba hitung berapa luas kampung-kampung miskin yang saat ini terancam penggusuran (lebih dari 135 kampung) yang sebarannya berada di 5 kotamadya, berada di tepi waduk, pinggir rel, bantaran sungai, tanah-tanah sengketa, lahan kosong, kolong Tol dan pinggir laut utara Jakarta. Ternyata luasnya tidak lebih dari 2% luas Jakarta (luas Jakarta 650 km2). Sehingga sungguh naif dan tidak adil bila pemerintah gembar gembor akan menambah RTH dengan cara menggusur kampung-kampung miskin. Di samping luasnya tidak signifikan, biaya yang dikeluarkan sangat besar dan dampaknya pun sangat luar biasa bagi warganya (fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan budaya). Padahal pemerintah mentarget peningkatan lebih dari 4% RTH sampai Tahun 2010. Sangat tidak realistis..!!

Pemerintah saat ini membuang APBD, untuk penggusuran (bahasa pemerintah: penertiban) Tahun 2008 mencapai Rp. 900 miliar lebih. Sungguh nilai yang sangat besar untuk program yang tidak menyelesaikan masalah kota, dan justru menimbulkan maslah baru yang kompleks bagi warga dan pemerintah. Apabila pemerintah lebih arif, sebenarnya dana sebesar ini bisa dialokasikan untuk program perbaikan kampung-kampung miskin yang melibatkan warganya.

Pemecahan alternatif yang realistis, adalah menata kampung-kampung miskin Jakarta menjadi kampung yang hijau yang bisa memberi kontribusi signifikan terhadap kota Jakarta. RTH yang lebih menekankan fungsi lingkungan yaitu sebagai daerah yang secara optimal dapat menghasikan oksigen, menyerap polusi dan resapan air, serta RTH yang memiliki fungsi sosial yaitu dikelola dan dijaga oleh warganya, karena berfungsi juga sebagai sarana sosialisasi warganya (pasal 31, Perda No.6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakrarta). RTH yang realistis adalah RTH yang lebih menekankan fungsi, bukan luasnya. Tidak ada gunanya bila ada ruang terbuka, yang dikatakan hijau tetapi lebih banyak permukaan tanah yang diperkeras sehingga fungsi-fungsi lingkunganya menjadi minim. Contoh: Taman Menteng (ex Lapangan Persija).

Kampung-kampung miskin yang selama ini selalu dianggap sebagai masalah kota, sebenarnya mempunyai potensi, apabila mereka dilibatkan dan diberi kepercayaan dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan penataan kampung dan meningkatkan RTH, warga dapat mengorganisir diri, melakukan kegiatan menabung secara klektif, mengelola dan memilah sampah untuk didaur ulang, penataan sistem sanitasi dan air limbah, penghijauan kampung bisa dilakukan secara swadaya dengan menanam jenis tanaman obat dan perindang. Lingkungan fisik juga bisa dirancang bersama untuk memenuhi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 75%, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) 1,5-2,2 dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) 25%. Solusi yang akan muncul di tiap kampung miskin past juga akan beda, sesuai dengan kondisi fisik dan masyarakatnya.

Konkretnya, akan ada banyak solusi alternatif untuk mengatasi masalah permukiman miskin di Jakarta. Re-blocking, Low Rise Housing, Rumah Maisonete (tumpuk), Upgrading, Urban Renewal atau Rumah susun (angsur-milik komunitas). Selama ada good political will dari pemerintah untuk melibatkan warganya, masalah ini akan dapat dipecahkan secara komprehensif.

Pemerintah perlu belajar dari Surabaya (penataan permukiman Stren Kali), Aceh (pasca tsunami warga 23 kampung membangun kembali kampungnya setelah tsunami, 18 bulan menyelesaikan 3500 unit rumah permanent, infrastruktur kampong dan kehidupannya) dan Thailand (baan mankong, program penataan kampong miskin yang melibatkan warganya, lebih dari 400 kota sudah diselesaikan).

Label:

Rabu, 27 Februari 2008

keserakahan atas nama bencana alam

Semua tahu, semburan lumpur di Sidorajo disebabkan kelalaian pihak lapindo yang melakukan pengeoran tidak menggunakan standar yang berlaku, yaitu memakai chasing. Selain itu juga akibat keserakahan Abu Rizal Bakri dan kroni-kroninya (yang saat ini adalah Menteri Kesejahteraan Rakyat) untuk berharap bisa mendapatkan gas bumi berlebih dari pengeboran tersebut.

Pemerintah telah membohongi 240 juta rakyat Indonesia, khususnya warga sekitar lapindo dengan mengatakan semburan lumpur akibat dampak bergesernya lempeng di awah bumi akibat gempa bumi di Jogja 27 Mei 2006. Bohong..!!! Gambar-gambar di poster ini hanya gambaran segelintir apa yang terjadi di Sidoarjo, pemiskinan dan kedzaliman oleh pemerintah kepada rakyatnya. Saat ini warga yang meunutut hak hidup kepada pemerintah seakan sedang berperang, seperti kancil lawan serigala..

Semua masih berjuang untuk sebuah kemenangan dan keadilan..

Label:

jogo kali..yang ini baru menang..!!

Konsep alternatif 'jogo kali' yang diperjuang kan bersama selama lebih dari 4 tahun sejak 2003, akhirnya bisa diterima oleh pemerintah propinsi Jtim, dengan disahkannya Perda tentang penataan Bantaran Sungai Wonokromo-Surabaya. Sebuah wujud nyata bahwa warga kapung miskin tepi sungai mampu, dan mau meruah pola hidup, karena mereka tidak mau pindah bukan semata-mata karena menolak rumah susun pemerintah dan relokasi tetapi kehidupan mereka telah mengakar lebih dari 20 tahun di pinggir sungai.

Hidup warga stren kali Surabaya..

Label:

yang lalu boleh kalah..












realitas kehidupan rakyat miskin yang menghuni kolong tol jakarta dalam gambar dan usulan mereka untuk mempertahankan hak hidupnya sebagai bagian dari kota di jakarta..

>> klik gambar untuk lihat lebih detail

Label:

Selasa, 26 Februari 2008

Rumah Kardus di Kota yang Rakus


Warga Jakarta tak putus dirundung penggusuran. Maukah pemerintah memilih solusi cerdas dan adil?
PADA 7 Agustus 2007 kebakaran besar melanda permukiman warga di kolong jalan layang Jembatan Tiga, Penjaringan, Jakarta Utara. Lidah api yang ganas begitu cepat melahap rumah-rumah bedeng warga yang sebagian besar berbahan kayu dan tripleks. Akibatnya 200-an rumah ludes dan lebih dari 800 orang kehilangan tempat tinggal.
Akibat kebakaran itu Jasa Marga dan Citra Marga Nushapala Persada, pengelola jalan tol Bandara Soekarno-Hatta, melansir kerugian rusaknya konstruksi jembatan tol mencapai Rp 35 miliar. Dengan alasan demi keamanan dan ketertiban, Pemerintah Kota Madya Jakarta Utara bersiap melancarkan jurus lawas: penggusuran. Tak tanggung-tanggung, 3.500 keluarga yang meliputi 10.000 jiwa penghuni kolong tol terancam.
Jurus lawas ini tampaknya memang menjadi senjata pamungkas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang terkenal bertangan besi dalam mengatasi "kesemrawutan" Ibu Kota. Spanjang tahun 2001-2003, pria yang belum lama ini dianugerahi gelar terhormat Doktor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro Semarang, karena dinggap berhasil membangun ekonomi Jakarta dengan tetap memperhatikan pedagang kaki lima, telah menggusur 8.643 keluarga. Kebijakan penggusuran dari pejabat puncak ini memberikan "inspirasi" bagi jajaran di bawahnya untuk menerapkan cara serupa dalam mengatasi masalah kependudukan.
"Kemungkinan besar masyarakat yang
terkena gusur akan melakukan tindak
kriminal seperti merampok atau
mencopet."
(Wati Nilamsari, Sosiolog)
Mulanya Wali Kota Jakarta Utara Effendi Anas menetapkan waktu "pembersihan" kolong tol pada 29 Agustus. Warga yang memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta akan diboyong paksa ke sejumlah rumah susun di daerah Marunda, Kapuk Muara, Tipar Cakung, Muara Angke, dan Cengkareng. Sedangkan warga yang tidak memiliki kartu izin tinggal di Ibu Kota akan dipulangkan ke kampung halaman dan diberi uang kerahiman Rp 1 juta. Namun, orang-orang kecil yang gigih mempertahankan hidup itu berusaha melawan. Operasi penggusuran pun ditunda. Namun, tetap saja pada 4 September sekitar pukul 10 pagi puluhan personel Satuan Polisi Pamong Praja mulai merobohkan rumah-rumah di permukiman kolong tol Warakas, Jakarta Utara.
Ketakutan dipaksa hengkang dari tempat tinggal kini juga menghantui warga di sembilan permukiman kolong tol lain. Apalagi Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto sejak Februari lalu mengeluarkan keputusan mencabut Kepmen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No 214/KPTS/M/2002 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Sementara Tanah di Daerah Milik Jalan (Damija) Layang Tol Ruas Tanjung Priok-Pluit kepada Warga. Padahal, keputusan menteri itulah yang selama ini menjadi payung pelindung bagi warga yang menempati kolong tol sejak tahun 1997.
"Jika ada warga yang punya usaha ternak
kambing, apakah kambingnya muat
ditempatkan di rumah susun?"
(Yuli Kusworo, aktivis UPC)
Letak permukiman kolong tol yang strategis, dekat dengan sarana umum seperti pasar, rumah sakit, dan sekolah membuat warga menolak dipindahkan ke rumah susun yang menjauhkan mereka dari tempat asal dan tempat beraktivitas selama ini. Belum lagi warga yang mayoritas bekerja sebagai pemulung sulit menyesuaikan diri dengan kondisi rumah susun yang lahannya terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk meneruskan usaha mengumpulkan sampah.
Wati Nilamsari, sosiolog perkotaan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingatkan, menggusur warga miskin dari komunitasnya tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan sosial akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. "Setelah menerima uang satu juta rupiah mereka tinggal di tempat yang disediakan Pemprov DKI yakni di rusun yang jauh dari aktivitas mereka. Nah, kalau sudah begitu bukannya ke depan akan menambah masalah baru? Dampak sosiologisnya banyak. Warga kehilangan mata pencaharian karena digusur. Kalau sudah begitu, kemungkinan besar masyarakat yang terkena gusur akan melakukan tindak kriminal seperti merampok atau mencopet," ujarnya.
Memindahkan warga kolong tol dari tempat bermukim sekarang memang mencabut mereka dari akar hubungan sosiologis dan ekonomis dengan lingkungan sekitar. Urban Poor Linkage, jaringan masyarakat miskin kota yang mendampingi warga mencatat banyak kerugian yang harus ditanggung warga jika dipindahkan ke rumah susun. Warga harus mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk biaya sewa rumah susun berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Padahal selama menempati kolong tol mayoritas warga tidak mengeluarkan uang untuk biaya sewa rumah. Warga juga harus mencari sekolah pengganti bagi anak-anak mereka. Mencari sekolah baru berarti juga mengeluarkan biaya tambahan pindah sekolah. Jika tidak pindah sekolah tentu repot pula. Anak-anak itu harus menempuh perjalanan jauh pergi-pulang sekolah. Itu pun bukannya tanpa ongkos.

Bekerja sama dengan Tim Teknis Pro Rakyat, gabungan arsitek dan perencana tata kota, warga mengusulkan penggeseran permukiman ke sekitar Daerah Milik Jalan (Damija) Layang Tol yang radiusnya tidak lebih dari 1 kilometer. Menurut warga, usulan ini lebih realistis dibandingkan pindah ke rumah susun, mengingat wilayah Damija yang belum dikelola dan dibiarkan terbengkalai mencapai puluhan hektare.
Anggota Tim Teknis Pro Rakyat, Yuli Kusworo, mengatakan kini warga sudah menyiapkan dana swadaya dan tenaga untuk membangun perumahan baru di daerah sisi kolong tol. Mereka bersepakat menjadikan kolong tol sebagai taman dan area umum, sehingga warga tidak lagi membangun rumah tepat di kolong tol.
"Jika ada warga yang punya usaha ternak kambing, apakah kambingnya muat ditempatkan di rumah susun? Kalau ada warga yang punya usaha barang-barang bekas, terus mau ditaruh di mana barang-barangnya? Tidak hanya itu. Mereka juga akan semakin jauh dari aktivitas sosialnya. Rusun Marunda yang akan ditempati mereka sekarang fasilitas umumnya masih sangat terbatas," ujarnya.
Menurut Yuli, dengan memindahkan warga ke lahan milik pemerintah di sekitar kolong tol, interaksi warga dengan masyarakat sekitar tidak akan berubah, sehingga tidak mencabut mereka dari tatanan sosial yang terbangun selama ini. Melalui program geser bukan gusur itu warga juga diberi kesempatan menjaga dan mengelola kolong tol secara swadaya. Hal itu akan menambah rasa ikut memiliki sehingga mau menjaga keindahan dan kenyamanan lingkungan kolong tol.
"Apa haknya dia tinggal di situ? Apa hak
orang mengatur di situ? Siapa yang
punya tanah itu?"
(Wiryatmoko, Kepala Dinas Tata Kota)
Ide kreatif tersebut ditentang Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta Wiryatmoko. Dia beralasan, warga tidak memiliki izin tinggal di lokasi milik jalan layang tol dan permukiman di sekitarnya juga akan menambah kesemrawutan wilayah. "Kami tidak setuju. Apa haknya dia (warga kolong tol) tinggal di situ? Anda kalau ngomongin orang mau hidup di Jakarta ini, apa hak orang mengatur di situ? Siapa yang punya tanah itu? Sama saja tanah Anda dikuasai oleh orang lain, marah nggak?" ujar Wiryatmoko berapi-api.
Pendapat senada dilontarkan ahli hukum pertanahan Ari Hutagalung. Menurut dia, untuk menyelesaikan sengketa kolong tol perlu diselidiki terlebih dahulu status tanah di wilayah tersebut. Jika tanah tersebut milik pemerintah, warga tidak memiliki hak untuk menempati wilayah itu.
"Harus dibedakan antara tanah milik pemerintah dengan tanah negara. Tanah negara tidak ada hak-hak tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tidak ada hak-hak pribadi di atasnya. Negara dalam hal ini kewenangannya ada pada BPN. Sedangkan kalau tanah yang sudah dibebaskan untuk jalan tol itu biasanya tanah pemerintah," kata Ari.
Dengan alasan kepemilikan tanah itu Wiryatmoko menolak keras usulan warga kolong tol untuk mengelola secara swadaya lahan yang sejak lama ditelantarkan pemerintah itu. Padahal bukti nyata warga mampu mengelola secara mandiri wilayahnya dapat dilihat pada keberhasilan penghuni pinggir Kali Code Utara, Yogyakarta, mengubah perkampungan yang semula kumuh menjadi lebih asri dan tertata.
Melalui pendekatan kemanusiaan YB Mangunwijaya berhasil membuktikan bahwa warga pun mampu menata sendiri perkampungannya jika diberikan kepercayaan. Kepercayaan yang diberikan itu bahkan mampu mengubah mental dan cara pikir penghuni kampung. Sebanyak 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa yang mendiami bantaran Kali Code itu kini banyak yang sudah alih profesi menjadi pedagang atau usaha lain. Sebelumnya kebanyakan mereka bekerja sebagai pemulung.
"Kenapa mesti digusur? Soal
penghidupan, mereka bisa cari sendiri
kok dan tidak pernah ganggu uang
pemerintah."
(Agus Rizal, penghuni kolong tol)
Keinginan warga untuk dapat hidup mandiri dan sejahtera di atas tanah milik pemerintah tampaknya harus terbentur angkuh hati kehendak penguasa wilayah. Apalagi usaha warga untuk berdialog dengan Menteri Pekerjaan Umum sebagai pemilik lahan untuk menjabarkan usulan penggeseran tempat tinggal pun tidak direspons serius. Namun penggusuran juga bukan solusi yang adil bagi warga kolong tol.
"Ketenangan warga itu kan soal rumah. Kenapa mesti digusur? Soal penghidupan, mereka bisa cari sendiri kok dan tidak pernah ganggu uang pemerintah. Cobalah kasih perhatian sedikit saja kepada kami. Kalau ada tanah kosong biarin aja dikelola oleh warga," kata Agus Rizal, warga permukiman kolong tol Papanggo, Jakarta Utara. (*)
Penulis: Angga Haksoro, Reporter: Kurniawan Tri Yunanto, Liza Desylanhi, Tri Wibowo Santoso, Yery Niko Borang, Yulianti.
Foto-Foto (Dari paling atas ke paling bawah):
1. Satpol PP Menggusur pemukinan jalan tolo (oleh Kurniawan T Yunanto)
2. Anak-anak penghuni kolong tol berbagi makanan setelah rumah mereka digusur (Foto Kurniawan T Yunanto)
3. Wati Nilamsari (oleh VHRmedia.com/Tri Wibowo)
4. Wiryatmoko (oleh VHRmedia.com/Yulianti)
5. Yuli Kusworo (VHRmedia.com/Tri Wibowo)< /p>


disadur dari:
Website VHRnews, 19 September 2007 - 11:53 WIB

Label:

Rabu, 20 Februari 2008

(ibu) kota yang OMPONG..

Jalan-jalan di Jakarta Utara, mulai dari kawasan Tanjung Priok naek angkot nomor 15 menuju Kota Lama, sungguh perjalanan yang unik. Dihitung dari kilometer jarak, mungkin tak lebih dari 5 kilometer. Namun bila kita di dalam angkot, kita akan duduk selama perjalanan lebih dari 30 menit.

Mulai dari jalan menuju terminal bus Tanjung Priok, yang terlihat sesaknya jalan oleh puluha angkot, bus, metromini dan bus antar kota antar propinsi yang akan masuk terminal dari arah TOL Cawang. Belum lagi pemandangan kontras di pinggir jalan, para pengayuh ojek sepeda onthel yang berlomba mencari penumpang dari angkutan umum yang berhenti di beberapa titik persimpangan jalan. Pedagang asongan, buah, minuman dan rokok juga tak mau kalah ambil bagian manfaatkan ramainya suanasana sekitar teminal. Sekilas memang kita bisa melihat secara kasat mata bahwa ini adalah kawasan bisnis yang sangat padat dan pasti uang yang berputar di kawasan ini nilainya luar biasa, dalam satu hari. DI sepanjang jalan samaskali kita tak melihat adanya tanah atau lahan kosong. Semua gedung bertingkat dua atau lebih, perkantoran, toko atau cafe.

Keluar dari Terminal us Tanjung Priok, angkot melambatkan laju, yang harus bersabar dengan deretan truk container, yang keluar masuk area pelabuhan. Di kiri kanan jalan terlihat tumpukan peti kemas yang di parkir di area terbuka. Selepas dari area pelabuhan masih saja angkot tak bisa melaju normal, ternyata genangan air memenuhi jalan. Sempat tengok ke arah utara, ternyata permukaan air laut dan jalan raya sudah sama tinggi, sehingga jalan raya pun harus ikut terendam luapan air laut.

Menuju ke Kota Lama melewati area rekreasi Ancol dan kawasan padat permukiman di Pademangan (sisi selatan Ancol), di sini pun tampak bahwa Jakarta utara seakan tak bisa bernafas karena jumlah bangunan yang tumbuh di atas tanah Jakarta Utara sudah benar-benar tak bisa bergerak. Wajar bila banyak pihak mengatakan Jakarta overload, Jakarta butuh ruang untuk bernafas, pemerintah brteriak kampung miskin akan ditertibkan untuk menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Benarkah Jakarta benar-benar penuh sesak, dan sudah tidak ada lagi ruang yang tersisa.

Lain perjalanan dari Priok-Kota Lama, saya coba lakuka pengamatan lebih detail, bagaimana lingkunan fisik di Jakarta Utara. Bagaimana ruang-ruang kota dimanfaatkan oleh penduduk kota dan pemerintah di Jakarta Utara. Sungguh ironis, ternyata banyak bangunan di Jakarta Utara yang tidak dimanfaatkan dengan baik, entah kosong, rusak atau sengaja dibiarkan oleh pemiliknya sebagai bagian dari investasi jangka panjang di Kota besar. Sepanjang jalan sisi selatan Stasiun Kota saja, saya lihat lebih dari 5 bangunan yang kosong. Di kampung Bandan, area sekitar TOL kamppung Walang, lahan milik TNI AD juga terbengakalai (lebih dari 1 HA), 30 HA lahan di Taman BMW Sunter yang saat ini digunakan warga untuk membuat kampung ilegal dan banyak bangunan yang menyisakan puing tak berpenghuni. Indikasi apakah ini?

Satu sisi kita mengatakan Jakarta penuh sesak, tapi di lain sisi pemerintah tak punya ketegasan terhadap pemanfaatan lahan di dalam kota untuk kepentingan yang jelas. Banyak lahan kosong dan luas, tapi tak sedikit pula warga miskin di kota Jakarta yang harus survive dengan bersusah payah hidup di kampung padat, tidak sehat dan ilegal. Bila pemerintah peka melihat apa yang terjadi di kota, berkaitan dengan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan lahan, maka pemasalahan permukiman miskin seharusnya dapat dipecahka bersama dengan melibatkan BPN, aparat hukum, Dinas Tata kota dan Bangunan dan warga miskin.

Seharusnya pemerintah mempunyai aturan mengenai lahan kosong yang tidak dimanfaatkan pemiliknya sesuai dengan peruntukannya dalam jangka waktu tertentu (misal 10 tahun) maka tahun ke 11 akan diambil alih oleh pemerintah dan kemudian oleh pemerintah akan dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan perumahan warga miskin bersubsidi, atau untuk program peremajaan kampung miskin digabung dengan membuat area bisnis rakyat. Bila ini bisa dilakukan, maka Jakrta akan benar-bernar menjadi kota yang efektif dan tidak ompong.

Hal seperti ini sudah dilakukan di kota-kota modern di dunia seperti Vancouver Canada, Berlin Jerman, atau kota-kota di Amerika. Pemerintah benar-benar berusaha menjaga fungsi lahan. Kecenderungan untuk hidup ke pinggir karena alasan kenyamanan hidup di kota harus ditangkap sebagai indikasi buruk perkembangan sebuah kota (seperti Jakarta). Bagaiman jika perlahan semua orang mulai bergeser ke peri-urban area dan meninggalkan daerh urban atau CBD? Sedangkan yang infrastruktur dan fasilitas kota yang dibangun di daerah urban diangun karena kepentingan kelas tengah dan atas..? Sedangkan kelas bawah yang selama ini bertahan dan cenderung survive sama sekali tak terpegaruh dengan fasilitas dan infrastruktur tersebut. Seakan di dalam kota ada gap atau layer, yang masing-masing berjalan sendiri di rel formal dan informal.

kankah kita melihat ibukota yang semakin kehilangan gigi alias ompong..ia semakin lama tak akan bisa mengunyah makanan apapun yang masuk ke mulutnya..bicarapun sudah tak jelas, apalagi ibukota juga masih berusaha bertahan dari penyakit kronis yang dideritanya, BANJIR..


Label:

latah..

tunggu artikelnya.. :p

Label:

sustainable city vs fair city


tunggu artikelnya.. :)

Label:

Minggu, 17 Februari 2008

the jakarta post, april 18, 2005


A 'Master Plan' by the People, for the People

The Jakarta Post
Monday, April 18, 2005

The Jakarta Post, Banda Aceh

The initiatives taken by a number of villages that were badly hit by the tsunami is admirable. Needless to say, the homes where residents lived and worked are no more, but the remaining locals are intent on rebuilding their hamlets.

While others argue with the government about the new blueprint for rebuilding Nanggroe Aceh Darussalam, the residents of 22 villages have designed their own blueprint. The residents have benefited from facilitation by the Urban Poor Consortium Uplink, a Jakarta-based network.

"The design is really based on the wishes of the people," said Yuli Kusworo, a volunteer. He is among five architects and civil engineers helping with the master plan. He said they went door to door around the villages, asking people what they wanted as regards the rebuilding of their communities.

She said the initial phase was difficult. In all, they had spent two months talking to the people of three districts in Aceh Besar regency.

"What they want now is not only to rebuild their homes, but they say they need to become closer socially and to be able to fulfill their economic needs," he said.

But the people's "blueprint" contradicts that of the government. The government does not want people to live on the coast again, supposedly for their own good.

The locals say that as fishing communities they have no choice. Together with the experts, they have designed "escape routes" leading straight for the nearby hills in the event of another disaster.

Their plans to plant coconut trees, pines and mangroves are not exactly to safeguard inland areas from another tsunami, as the government intends.

"The mangroves are to provide shelter from the wind breeze as this rusts our equipment in a short time. The mangroves wouldn't be able to hold back a tidal wave like the one we recently experienced," said Tarmizi, a village secretary.

The villages have different plans for the future of their settlements. "For our village, Meunasah Tuha, we'll live 500 meters away from the sea," Tarmizi said. Houses would be located near the hills, while the rice fields would be near the sea.

The villagers here, mostly farmers and fishermen, plan to rebuild their homes soon so as to replace the current wooden buildings. In so far as possible, the houses will be designed to withstand earthquakes.

"Each home will cost around Rp 35 million," Yuli said.

Proper spatial and environmental planning, Yuli said, should be the focus of the rebuilding effort, instead of relocating communities.

Label:

kata marco..

Arsitek Muda

Saya kenal seorang arsitek muda bernama Yuli Kusworo. Dia laki-laki yang lahir bulan Juli di Yogyakarta. Dia lulus pada tahun 2001 dari jurusan arsitektur Universtas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Dia muslim yang rajin sholat. Sehabis sholat biasanya wajahnya berseri-seri. Tubuhnya kurus tanpa lemak. Tampaknya sehat, tapi mudah masuk angin.

Setelah membantu masyarakat di Stren Kali di Surabaya, ia berangkat ke Aceh pasca-tsunami pada tanggal 3 Februari 2005, bergabung dengan tim UPLINK pimpinan Wardah Hafidz di sana. Ia membantu mengajak korban bencana pulang ke kampung-kampung asli mereka, supaya berkumpul, menjaga tanah leluhur mereka, bersama-sama membangun tempat tinggal sementara untuk kemudian merencanakan dan akhirnya membangun gampong dan kehidupan mereka kembali.

Pada awal tahun 2005 itu, pengalaman 4 tahun kerja setelah lulus, membuat Yuli masih “yunior”, apalagi di Aceh pasca-tsunami ia harus bekerja di bawah arahan arsitek-arsitek senior yang seolah-olah hebat menurut kesan yang di dapat di media massa, disamping beberapa arsitek dari Gujarat, India. Jadi tentu saja namanya tenggelam. Kenyataannya, informasi yang dia kumpulkan, renungan-renungannya dan cerita-ceritanyalah yang menjadi dasar bagi para seniornya untuk memberikan umpan-balik dan melakukan koordinasi atau membuat beberapa keputusan. Para senior itu berganti-ganti. Sedang Yuli bekerja dari awal sampai akhir, dan baru “keluar” dari Aceh sesudah seluruh program UPLINK di sana selesai. UPLINK membangun 23 desa berisi sekitar 3,500 rumah, 23 meunasah, beberapa mesjid, dan semua perlengkapan desa lainnya. UPLINK adalah organisasi pertama yang secara resmi menyerahkan 23 gampong dengan 3,500 rumah kepada masyarakat pada tanggal 28 Desember 2006. Prestasi kecepatan ini mengalahkan semua organisasi nasional maupun internasional lain yang bekerja di Aceh. Menurut survei UN-HABITAT dan Universitas Syah Kuala, rumah-rumah yang dibangun bersama oleh masyarakat dan UPLINK itu mendapat nilai paling tinggi dalam hal kualitas teknis dan kepuasan para pemilik rumah. Setidak-tidaknya dua dari lima tipe utama rumah-rumah itu adalah karya Yuli sepenuhnya. Selain itu ia juga bertanggung-jawab merancang beberapa meunasah, mesjid, dan menangani perencanaan empat gampong. Proses perencanaan gampong itu sangat melelahkan karena melalui proses partisipasi yang intensif, dengan peralatan yang sederhana dan kondisi kehidupan yang sulit.

Arsitektur yang dirancang Yuli, rumah menempel tanah berukuran 36 m2 lebih sedikit, dan rumah panggung yang berukuran kurang lebih sama, tidak mungkin spektakuler. Ia tidak mungkin mengutip literatur yang fancy tentang art-deco atau Umberto Eco. Paling-paling Eko Prawoto mantan dosennya, yang memang sumber yang baik. Begitu juga gampong-gampong itu. Anggarannya hanya 38 juta per rumah pada awalnya, lalu naik menjadi 52 juta rupiah per rumah karena inflasi yang tidak terkendali. Gajinya kecil, tapi ia bekerja dengan efisien dan efektif, sehingga 94.06 % dari total dana 268 milyar yang dikelola UPLINK langsung dinikmati masyarakat korban bencana. Biaya operasional dan manajemennya hanya 3,81%. Ini sangat rendah dibandingkan dengan standar apa pun, dalam keadaan normal atau, apalagi, pasca-bencana. Sementara para pekerja di organisasi internasional kemana-mana naik mobil besar, 4-wheeler, yang intimidatif, Yuli naik sepeda motor atau sepeda, dan banyak berjalan kaki membawa back-pack yang ditaruh di depan dada untuk menahan angin. Kadang-kadang gulungan gambar yang dibawahnya tertekuk angin. Di masa awal sebelum perjanjian perdamaian, tidak jarang ada kontak senjata di gampong-gampong tempat ia bekerja, yang memang kebetulan berada di daerah “panas”, dan itulah pula sebabnya ketika itu tak banyak organisasi lain mau membantu di situ.

Yuli adalah salah satu orang muda penting idola saya di bidang arsitektur, sama seperti Butet Manurung di bidang pendampingan masyarakat asli.

Setiap generasi muda menjawab soal yang berbeda pada keadaan yang berbeda. Begitu juga dalam hal rancangan. Bagi Yuli soalnya adalah merancang rumah dengan anggaran terbatas, yang dapat dibangun dengan cepat sesuai dengan keadaan logistik yang sangat repot. Ia juga harus memenuhi persyaratan tahan gempa dan cara-cara sederhana menyiasati tsunami mendatang, di samping menghadapi kecerewetan pemilik rumah dengan sabar. Ia tidak mungkin mengharapkan eksposur media untuk menjadi terkenal. Ia tidak mungkin mengharapkan gaji yang tinggi. Ia tidak mungkin bermaksud membangun jembatan emas menuju karir di kota besar. Sampai sekarang saya tidak tahu motivasinya—karena rupanya tidak penting—setidaknya tidak seperti yang mudah dibaca di buku ini tentang berbagai generasi muda sepanjang sejarah Indonesia.

Karena itu, di antara Sukarno dan Adi Purnomo, saya mengantar Yuli Kusworo. Boleh donk…

28 Oktober 2007

Marco Kusumawijaya

tulisan ini ditulis marco, sebagai prolog buku katalog pemeran perjalanan arsitektur indonesia 'tegar bentang' di erasmus huis, jakarta, novembar 2007..

Label:

pinggir sungai deli


realitas kehidupan rakyat miskin di pinggir sunagi deli, medan, yang selalu terancam hak-haknya akan hidup dan bertempat tinggal. berada di lokasi yang beresiko terhadap bencana
(banjir, longsor dan juga gusuran).
goresan pensil 5 tahun yang lalu saat bantu pak paulus buat desertasi..salah satu media refleksi perjalanan berarsitektur 13 tahun ke belakang, belajar menemukan sebuah 'bentuk diri' yang tentu saja bukan gambaran sebuah epigon..(?)

kayu dan beton

salah satu sudut rumah wardah yang sempat terekam oleh mata n tangan. melihat bertemunya lebih dari 2 material dalam satu sudut ruangan di saat suntuk (bundhet n ngantuk..), 1 minggu kegiatannya rapat dengan kawan2 timnas uplink..

papanggo ujung

coba pahami karakter obyek, ada bambu, seng, terpal, batubata, tripleks, kaca..bagaima mereka bisa dianyam menjadi sebuah wujud nyata yang saling mengisi..
sambil pertemuan bersama warga eks-kolong tol, iseng-iseng liat obyek yang menarik di sudut empang..
heheh..boleh juga

Label:

global warming [selamat tinggal jakarta..!]

Kalau ada yang bilang, pemanasan global masih isu..coba kita datang ke Muara Baru jakarta utara. Beberapa bulan yang lalu (mungkin mulai oktober 2007) kawasan yang langsung berbatasan dengan pantai utara jakarta tersebut (sebelah pelabuhan sunda kelapa), kita akan liat betapa saat ini daratan jakarta dah sama tingginya ma muka air laut (klo pas laut gak pasang), bahkan beberapa titik malah lebih rendah dari muka air laut. Apabila laut sedang pasang, tamat deh daratan yang di dalamnya dihidupi puluhan ribu manusia beserta aktifitasnya.

Selama lebih dari 3 bulan warga Muara Baru harus berbasah-basah tiap pagi (09.00 am saat pasang mulai) sampai menjelang senja air baru surut kembali. sungguh pemandangan baru, rutinitas baru yang dilalui tiap hari..karena ketika saya tanya apakah tahun sebelumnya seperti ini juga, mereka menjawab TIDAK.

Melihat kondisi fisik kawasan tersebut, dari tahun ke tahun tidak ada yang berubah, mulai dari kawasan pelelangan ikan, pelabuhan sunda kelapa, pergudangan pendinginan ikan, sampai permukiman padat warga miskin di sekitarnya. tapi yang berubah hanyalah satu, masuknya air laut ke daratan hingga 1 meter lebih (di tempat-tempat tertentu). Para nelayan tradisional pun tak habis pikir kenapa ombak pasang bisa setinggi ini, karena mereka samasekali tak tahu apa itu GLOBAL WARMING.

Kelihatannya kita tak bisa tolak kedatangan pemanasan global di jakarta. klo Al Gore bilang 5-10 tahun lagi banyak daratan di belahan bumi akan berkurang dan ditelan laut, kita saat ini sudah menemukan salah satu jawabannya. ibukota negara republik indonesia salah satu korbannya..heheheh.
Beberapa ahli di jakarta juga bilang, 10 tahun lagi, kota tua jakarta (jakarta old town) akan tengelam dan batavia tinggal menjadi kenangan. beberapa minggu yang lalu kita baca koran, bahwa siapa yang jadi korban pertama, tentu saja warga sekitar Muara Baru yang notabene mayoritas kelas menengah ke bawah. Beberapa minggu lalu kita baca berita koran, museum bahari roboh, bangunan tua di kota lama ambruk karena terendam air asin terlalu lama..apa tenggelamnya kotalama dan jakarta utara harus tunggu 10 tahun lagi..????

dan pemerintahnya..
malah sibuk sendiri urusin mega proyek reklamasi pantai utara jakarta..
HEBATTTT...!!!!

Let us help stop Global Warming now and make sure that the world we live in stays alive!
Visit http://www.warmings ign.org to sign up and get facts on Global Warming.
Help us spread the word by forwarding this message to your contacts and friends.

Label:

sampah di bandung, ternyata..

Pagi ini, tak sengaja melihat salah satu ruang publik di kota bandung. liatnya dari dalam bus damri sih, mau balik jakarta..mungkin karena hari minggu, sehingga tempat itu rame orang, rame pedagang kakilima, tapi sepi petugas sampah. sempat terpikir juga apabila semua orang membicarakan betapa masalah sampah di kota bandung menjadi momok yang sampe saat ini belum tuntas..faktanya?

Sambil bermacet-macet di di bus damri, iseng-iseng perhatikan perilaku orang, penjual dan suasana sekitar tempat tersebut (gak tau nama tempat tersebut, deket perempatan sekitar terminal KALAPA). sempat saya menghitung kurang lebih ada 5 titik tempat sampah di sepanjang trotoar..yang penuh rame pedagang dan pengunjung. masing-masing titik ada 2 wadah sampah, tertulis label SAMPAH ORGANIK dan SAMPAH ANORGANIK. Sungguh pemandangan yang sangat aneh, bila kita melihat sebuah ruang publik kota yang selalu rame dan jadi pusat akumulasi warganya, tapi semua tempat untuk buang sampah terisi penuh oleh sampah, bahkan sampai keleleran di trotoar, dan di sekitar tempat tersebut terpampang tulisan: buanglah sampah pada tempatnya (pasti ada warga yang nyeletuk, "dah penuh pak..heheh).

Masih ngeliat aja pemandangan menarik ini, para pedagang dan pengunjung sambil makan dengan santainya lempar sana-sini, bungkus atau sisa makanannya..jadi yang terlihat adalah sebuah ruang publik yang sangat kotor, tapi tetap nyaman bagi warganya..apakah ini potret bandung, warga dan sampahnya..? warga juga tak bisa dipersalahkan karena uang sampah sembarangan, lha wong wadahnya aja semua dah penuh sampah (dah brapa hari ya..klo sampe semua penuh n keleleran). antara kebiasaan, kesadaran dan tangung jawab yang masih perlu dipertanyakan. kalaupun sampah tersebut diambil dari wadah di tempat tersebut (oleh petugas kebersihan kota) itu juga bukan membersihkan, hanya memindahkan..setelah dipindahkan?

Pembakaran sampah, pengolahan atau apapun namanya, bila sampah satu kota di-pool dalam satu tempat tanpa adanya pemilahan sampah yang bisa didaur ulang dan tidak, masih tetap saja masalah sampah tidak selesai. ini hanya di bandung, bagaimana dengan kota lain..berapa sampah yang akan ditumpuk dalam satu tempat..10 tahun lagi, 20 tahun lagi..

Mungkin ini salah satu renungan kita, untuk bumi ini agar anak cucu kelak tak hanya menikmati kotornya sampah di hampir seluruh sudut tempat..



Label: