Senin, 04 Oktober 2010

Komunitas Kota yang (Terpaksa) Kreatif dan Adaptif


Kira-kira tahun 50-an di Rawabelong, Jakarta Barat banyak warga yang mempunyai kebun bunga, khususnya memilih menanam anggrek. Entah apa yang membuat banyak warga di Rawabelong memilih menanam bunga di halamannya sehingga orang dari luar Rawabelong tahu kalau ingin melihat berbagai jenis anggrek atau bahkan membeli datang ke Rawabelong. Meski saat itu hanya orang-orang kaya dan sebagian orang Eropa yang ada di Jakarta saja yang bisa menghargai bunga. Lalu, apakah masyarakat di kawasan Rawabelong saat itu memang memilih berdagang bunga sebagai sumber penghasilan utama?

Bukan suatu kebetulan almarhumah Ibu Tien Soeharto Tahun 60-an membuat Taman Anggrek Indonesia Permai (TAIP), seluas kurang lebih 60 Hektar di kawasan Tomang Kebon Jeruk yang berjarak 5 kilometer arah barat kawasan Rawabelong. Menurut informasi warga Rawabelong, keberadaan TAIP saat itu dibuat untuk menghubungkan produksi anggrek Rawabelong ke luar Jakarta dan bisa jadi TAIP dibuat sebagai etalase anggrek Indonesia dari daerah sekitar Rawabelong. Meski tak sedikit warga yang tetap memilih bertani anggrek di halaman rumahnya sendiri. Lokasi TAIP sendiri akhirnya dipindah ke Taman Anggrek ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Lokasi lama yang sudah ditetapkan oleh Gubernur DKI, Bang Ali, sebagai Hutan Kota sekarang akhirnya harus berubah menjadi kawasan komersil Mall Taman Anggrek dan Podomoro City. Apakah pindahnya lokasi Taman Anggrek ini salah satu penyebab berkurangnya petani anggrek di Rawabelong.

Rawabelong saat ini identik dengan pusat penjualan bunga. Mulai dari bunga anggrek (dahulu), berbagai bunga potong segar, bunga tabur dan sekarang kita bisa jumpai puluhan floris, aksesoris untuk rangkaian bunga, dekorator pesta bahkan tanaman hias. Bukan lagi petani anggrek seperti beberapa puluh tahun lalu. Meski kita masih akan bisa menemukan belasan warga yang masih mempertahankan kebun anggreknya di tengah kampung padat di Rawabelong. Tampak sekali bahwa mereka yang mempertahankan kebun bunganya bukan lagi sebagai pilihan utama untuk bertani bunga atau menjual bunga, tapi sekedar menjaga warisan orang tua mereka terhadap bunga atau mereka memang belum mempunyai alternatif minat selain mempertahankan kebun bunganya.

Melihat kawasan Rawabelong dari dalam komunitas pasar bunga adalah sangat menarik, di mana pasar bunga yang keberadaannya berangkat dari sejarah yang cukup panjang. Berawal dari para penduduk lokal yang berjualan bunga di sepanjang Jalan Raya Rawabelong. Mereka berjualan antara pukul 2-7 pagi. Berbagai bunga yang dijual adalah bunga-bunga yang awalnya adalah bunga hasil kebun di kawasan Rawabelong, yaitu anggrek. Seiring meningkatnya jumlah pembeli akan variasi jenis bunga, mulailah pedagang bunga bekerjasama dengan para penjual dari luar Jakarta seperti Bandung, Cipanas, Ambarawa dan Malang.

Semakin banyaknya pedagang di sepanjang jalan raya Rawabelong, menjadikan pemerintah DKI untuk memindah lokasi pasar lebih ke dalam kawasan Rawabelong tepatnya di Jalan Sulaiman karena alasan kemacetan. Perubahan demi perubahan mulai terjadi, dominasi pedagang bunga lokal bergeser ke pedagang luar kota, variasi jenis bunga pun terus bertambah, keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan pasar bunga melalui Unit Pengelola Teknis (UPT), hingga lahirnya komunitas pedagang bunga Pasar Rawabelong dalam wadah paguyuban dan koperasi.

Peran komunitas pedagang Pasar Rawabelong yang sangat strategis dalam berbagai hal, khususnya dalam menentukan perkembangan Pasar Rawabelong dan kebutuhan para pedagang tidak terlalu tampak. Sebagai organisasi komunitas, paguyuban tidak bisa berbuat banyak ketika pedagang mempunyai masalah, di sampingmasih belum terorgasisasinya para pedagang. Jumlah kios pasar yang sudah ditetapkan oleh UPT saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan jumlah pedagang, pengelompokan pedagang sesuai jenis bunga yang ternyata memberikan dampak pada lantai 2 yang terlihat kosong, munculnya pedagang dadakan (pedagang bunga tabur) di sekitar bangunan pasar sebagai dampak proses ekonomi yang terjadi di lingkungan pasar.

Di tingkat para pedagang, kebutuhan akan sebuah wadah yang dapat mewadahi dan menyalurkan suara para pedagang masih belum menjadi satu kebutuhan. Sehingga keberadaan paguyuban sendiri terkesan hanya sebagai alat legitimasi dan kepanjangan tangan UPT, dalam hal ini pemerintah. Belum ada kesadaran kolektif sebuah komunitas di dalam pasar yang benar-benar penting untuk mendorong berkembangnya penjualan bunga di tingkat yang lebih luas. Kekurangan yang masih dirasa oleh pedagang seperti packaging, manajemen pemasaran ataupun sistem pemasaran yang sederhana dan modern. Namun kenyataannya pengembangan Pasar Bunga Rawabelong lebih banyak diartikan oleh pemerintah sebagai pembangunan fisik fasilitas-fasilitas yang sebenarnya tidak terlalu prioritas bagi kepentingan pedagang, seperti penambahan fasilitas parkir hingga 3 lantai dan fasilitas olah raga atau jembatan penyeberangan.

Seakan sibuk dengan rutinitasnya, sehingga tokoh yang muncul di komunitas pegarang Pasar bunga Rawabelong sangat minim. Tokoh yang sebenarnya bisa menjembatani kepentingan strategis para pedagang dan pemerintah, pedagang dengan masyarakat sekitar, pedagang di dalam dan di sekitar pasar Rawabelong, hingga hubungan dengan suplier dan konsumen bunga dari luar Jakarta. Banyak pihak atau kelompok masyarakat atau komunitas yang sebenarnya terlibat dan saling berhunbungan dalam mata rantai perdagangan bunga. Lebih sempit lagi bila dilihat Pasar Bunga Rawabelong sebagai sebuah ’magnet ekonomi’ dalam sebuah kawasan. Tentunya kita tidak bisa melihat hubungan yang terjadi diantara kelompok-kelompok tersebut dengan hanya melihat Rawabelong dari dalam pasar saja.

Entah penting atau tidak, kenyataannya Pasar Bunga Rawabelong telah menjadi satu pusat ekonomi tersendiri bagi komunitas di kawasan itu. Ini terbukti dengan banyaknya kelompok masyarakat/komunitas yang terlibat dalam mata rantai lingkaran ekonomi bunga dari Pasar Rawabelong.

Meski penduduk lokal di sekitar pasar secara nyata adalah bukan pelaku utama dan minoritas bila dilihat dari sisi jumlah pedagang, namun sokongan kawasan Rawabelong terhadap eksistensi pasar sangat jelas dilihat dari hubungan yang terjadi diantara para pelaku. Tukang ojek di sekitar pasar adalah elemen penting karena mereka biasa digunakan sebagai kurir bunga oleh para pedagang pasar. Penjual bunga tabur di depan pasar adalah mata rantai penjualan bunga berikutnya ketika bunga sudah tidak memungkinkan lagi dijual oleh para pedagang di dalam pasar setelah 2 kali digunakan dalam sebuah event.

Demikian juga dengan pedagang bunga di sepanjang Jalan Sualiman dan Jalan Raya Rawabelong. Entah mereka lebih memilih pinggir jalan utama sebagai tempat berjualan karena faktor akses, atau kerana mereka adalah kelompok yang tidak terwadahi di dalam kios pasar karena penuhnya kios. Faktanya hingga saat ini ada puluhan penjual bunga yang memilih berjualan di pinggir jalan dan sekaligus mengembangkan kiosnya tidak sekedar menjual bunga tetapi hingga aksesoris bahkan dekorator pesta. Dan sebenarnya mereka membeli bunga dari Pasar Bunga Rawabelong.

Akhirnya dengan sengaja kita harus melihat Rawabelong dari luar untuk melihat lebih jauh seperti apa simpul-simpul ekonomi kawasan yang saling berhubungan dan menopang.

Hal lain yang terkesan tidak tampak namun masih saling mendukung adalah banyaknya rumah kos (kontrakan) di sekitar Pasar Bunga Rawabelong. Sepintas kontrakan-kontrakan tersebut tak berkait dengan keberadaan dan aktifitas pasar bunga. Rumah kos tersebut tidak sedikit yang disewa oleh para penjual dan pekerja yang ada di Pasar bunga Rawabelong. Mereka adalah warga pendatang dari Bandung, Cipanas, Bogor, Ambarawa dan Malang.

Sebagian besar rumah kos tersebut muncul karena perubahan dan perkembangan kawasan yang sangat dinamis. Masyarakat yang dahulu bertani bunga anggrek di halaman rumahnya yang cukup luas, tak kuasa didesak harus berubah akibat munculnya sebuah ’magnet ekonomi’ kawasan yang luar biasa, bahkan mengalahkan kekuatan Pasar Bunga Rawabelong. Sejarah menjadi sesuatu yang tidak begitu penting lagi karena ruang kota memaksa warganya harus adaptif dan kreatif.

Pemerintah yang sudah memberi ruang usaha untuk masyarakat Rawabelong di dalam kios-kios pasar bunga pun akhirnya harus beralih ke warga luar Jakarta. Pedagang bunga dari luar Jakarta lah yang kini menjadi pedagang tetap di Pasar Bunga Rawabelong. Bagaimana dengan warga Rawabelong sendiri? Mereka sengaja memilih sebagai ’pemain luar’ pasar atau warga Rawabelong melihat sebuah potensi besar yang muncul di kawasan Rawabelong dari sekedar magnet ekonomi pasar bunga.

Kreatifitas tinggi dalam hal menangkap peluang ekonomi kawasan kota secara individu atau kelompok muncul di saat kondisi ruang kota menuntut adanya perubahan cepat. Dan ternyata benar 1,5 kilometer tenggara Pasar bunga Rawabelong, tepatnya di Jalan Syahdan. Sebuah lembaga pendidikan yang berdiri di paruh tahun 70-an di bidang kursus komputer, Bina Nusantara mulai berkembang begitu cepat dan berubah menjadi sebuah universitas. Bahkan tak hanya mempunyai 1 lokasi kampus, Universitas Bina Nusantara (Binus) membangun kembali kampus baru tepat di Jalan Rawabelong Raya yang disebut sebagai Kampus Anggrek. Tak hanya bidang studi komputer dan informatika yang menjadi andalan Binus, teknik, ilmu ekonomi dan beberapa jurusan yang saat ini menjadi trend karena kebutuhan profesi di bidang itu sangat besar terus dikembangkan.

Tak pelak Binus merubah Jalan Syahdan dan sekitarnya menjadi pusat penjualan kompuer dan aksesorisnya. Tercatat 24 ribu mahasiswa yang saat ini belajar di Binus. Radius hingga 5 kilometer di sekitar Binus menjadi kampung mahasiswa. Karena 60% mahasiswa Binus adalah warga luar Jakarta, maka kawasan sekitar Binus yang masih menjadi bagian dari kawasan Rawabelong harus merubah wujudnya mengikuti kebutuhan.

Tak sedikit Pak Haji yang dulu berprofesi sebagai penjual bunga Anggrek dan mempunyai tanah (kebun bunga) yang cukup luas, sedikit demi sedikit dijual dan dijadikan Rumah Kos. Puluhan rumah kos 4-5 lantai dengan fasilitas lengkap menjamur di Rawabelong. Mereka membangun rumah kos dengan jumlah kamar cukup banyak, 50-100 kamar per unit bangunan. Ada Pak Haji yang memiliki rumah kos hingga 300 kamar. Harga sewa kamar kos berfasilitas lengkap di sekitar Binus rata-rata Rp 1-1,5 juta perbulan. Bila Pak Haji mempunyai 300 kamar kos, pendapatan kotor per bulan bisa mencapai Rp 300 Juta. Dari 1 jenis usaha saja kita bisa bayangkan perputaran uang tiap bulan di kawasan Rawabelong. Belum jenis usaha lain seperti usaha komputer dan aksesosis di sepanjang Jalan Syahdan.

Perubahan wajah kawasan Rawabelong secara keseluruhan sangat drastis ketika ’magnet-magnet ekonomi’ memberi dampak secara masif kepada masyarakat sekitar. Komunitas menjadi bagian pelaku langsung atas perubahan tersebut. Sementara ini terlihat 2 kutub magnet ekonomi yang cukup besar, yaitu Pasar bunga Rawabelong dan Kampus Binus. Namun kita belum tahu apakah keduanya saling menarik komunitas sekitar, atau terjadi hubungan-hubungan yang dapat memberi dampak ekonomi lebih besar. Sementara ini, hubungan diantara keduanya tidak begitu terlihat.

Binus sebagai institusi pendidikan terus bersaing dengan institusi lain dan berupaya mengembangkan untuk memenuhi tuntutan pasar. Dengan kekuatan modal, manajemen yang modern dan profesional akan mudah dan bisa jadi ’menyetir’ pengambil kebijakan berkait dengan ruang-ruang kota yang dibutuhkan. Sedangkan Pasar bunga Rawabelong dan komunitas pedagang yang ada di dalamnya lebih mengartikan perkembangan pasar dengan proyek-proyek fisik jangka pendek melalui mekanisme birokrasi UPT yang relatif top-down.Lalu mau kemana sebenarnya komunitas pedagang Pasar bunga Rawabelong ke depan?

Komunitas-komunitas ini secara alami beradaptasi dengan lingkungannya. Ada komunitas yang memilih bertahan berdagang bunga bersama keberadaan Pasar bunga Rawabelong dan sekitarnya. Ada yang memilih menjadi ’pemian pinggiran’ di layer kedua seperti tukang ojek, pedagang kakilima, rumah kos para pedagang, warung makanan, dll. Ada pula komunitas yang memilih berganti profesi menjadi pengusaha rumah kos dan lebih berada dalam medan magnet Kampus Binus. Selain itu 24 ribu mahasiswa Binus yang saat ini menetap (sementara) di kawasan Rawabelong, merupakan komunitas tersendiri yang bisa jadi akan juga beradaptasi dengan ruang Rawabelong yang sangat dinamis. Di dalam Kampus Binus juga ada berbagai orang (akademisi, profesional) yang mempunyai keahlian dengan dunianya sendiri di dalam kampus.

Berbagai kepentingan antar individu atau komunitas ini bisa jadi menyatu sebagai satu sistem yang tidak saling mematikan, bahkan menghidupkan ekonomi kawasan. Namun bukan tak mungkin diantara komunitas-komunitas yang ada ini tidak berhubungan sama sekali. Dalam kondisi tertentu hubungan manjadi penting, seperti kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan potensi pasar bunga oleh Paguyuban Pedagang Bunga dengan Fakultas Ekonomi/Manajemen Universitas Binus. Atau menghubungkan kelompok mahasiswa Binus dalam memasarkan dan mendekatkan bunga dalam berbagai even kampus.

Hubungan-hubungan yang nyata dan tersulam secara alami ini akan menjadi potensi ekonomi kawasan yang luar biasa apabila komunitas-komunitas di Rawabelong memahami keberadaan mereka di dalam konteks kawasan seperti apa dan seberapa besar. Namun sepertinya belum ada alat yang bisa membantu komunitas-komunitas ini mengetahui dan paham siapa kami dan mereka (komunitas lain), di mana dan bagaimana saling bekerjasama dalam dimensi yang lebih kompleks. Hubungan-hubungan tersebut mengalir apa adanya. Banyak harapan yang masih mandeg karena kendala-kendala strategis belum bisa terpecahkan. Ini terjadi karena adanya kebuntuan dan belum tersambungnya hubungan antar pelaku (komunitas). Siapa yang bisa mengambil peran ini?

Apakah ruang-ruang kawasan seperti Rawabelong memang terus berubah, bahkan sangat progresif mengikuti geliat ekonomi kawasan yang tidak jelas arahnya. Potensi kawasan yang sudah terbentuk alami dan dikembangkan secara kolektif tanpa adanya perencanaan ruang yang lebih sistematis dan terencana, bisa menjadi bumerang dan ancaman jangka panjang bagi komunitas itu sendiri. Bayangkan bila tiba-tiba Pasar bunga Rawabelong tiba-tiba dipindah oleh Pemerintah DKI karena alasan akses dan kapasitas. Bayangkan bila tiba-tiba Kampus Binus membangun puluhan Student Apartment di beberapa lokasi, dengan faslilitas lengkap namun harganya lebih terjangkau, melebihi rumah-rumah kos yang sekarang dimiliki Pak Haji. Atau tiba-tiba Kampus Anggrek dan Kampus Syahdan Binus dipindah lokasinya ke luar Rawabelong.

Di lain hal, pemerintah asyik dengan corat-coret dan warna-warni secarik kertas dalam sebuah perencanaan tata ruang kawasan. Produk perencanaan yang telah dibuat pemerintah tersebut sudah dipastikan tidak akan menyentuk dimensi yang detail karena tidak dilandasi pengetahuan dan pola pikir dari wujud yang sudah ada. Perencanaan dibuat dengan melihat dari ketinggian, tidak dari dalam dan dengan rasa. Sehingga hasilnya pun tak lebih dari sekedar alat dokumentasi ruang-ruang kota. Apa yang akan terjadi ke depan, bagaimana komunitas-komunitas bisa mempersiapkan perubahan yang akan terjadi sama sekali tidak bisa diprediksi dan diketahui oleh siapapun. Karena komunitas-komunitas sebagai pelaku perubahan sanagt cerdas, karena sudah lebih dulu berubah daripada sekedar produk tata ruang yang tidak membumi.

Bisa jadi kemampuan adaptasi dan kreatifitas dalam mensikapi perubahan ruang akibat dampak ekonomi kawasan menjadi satu hal yang sia-sia. Kemapanan yang sudah dihasilkan selama puluhan tahun, dengan modal dan kekuatan sendiri akan hancur ketika ketidakpastian itu benar-benar terjadi. Namun komunitas tidak akan menyerah sampai di titik itu. Mereka akan bangkit lagi, beradaptasi dan berkreasi kembali karena itulah kekuatan mereka. Inikah potret ruang-ruang kota kita?

Label: