Jumat, 29 Februari 2008

Kampung Miskin = RTH

INI dia nasib ruang terbuka hijau ibu kota. Ganti gubernur, ganti masterplan. Luasnya kian ciut: pada mulanya direncanakan bakal memakan sepertiga luas Jakarta, kini wilayah itu ditaksir tinggal seperlimabelasnya. Padahal, ruang terbuka hijau merupakan saka guru sebuah kota. Di sinilah oksigen diproduksi, karbon dioksida didaur ulang serta udara disaring dari debu. Bukan hanya itu, wilayah ini juga menjadi mesin pendingin kota, daerah resapan air, habitat satwa, dan tempat rekreasi. Karena fungsi ruang terbuka yang vital, pada Konferensi Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, luasnya dibakukan: tak boleh kurang dari 30 persen. Bagi Jakarta, itu berarti luas area terbuka harus setara dengan 20 ribu lapangan sepak bola.

Rencana Induk Jakarta (1965-1985), mengamanatka 37,2% Runag Terbuka Hijau di Jakarta. Setidaknya ada 5 kawasan yang ditetapkan sebagai daerah resapan air, hutan kota dan kawasan lindung. Hutan Tomang, Senayan, Kawasan Sunter, Kelapa Gading dan Kapuk.

Kita tengok ke belakang bagaimana perubahan dan nasib Ruang Terbuka Hijau (RTH) tersebut dari tahun ke tahun:

1971. Gubernur Ali Sadikin melepaskan 13 hektare RTH Senayan untuk pembangunan hotel dalam rangka Konferensi Pariwisata Asia Pasifik. Belakangan, hotel itu ternyata menjadi properti perusahaan keluarga Ibnu Sutowo.

1984. Luas ruang terbuka hijau 28,8%.

1990. Dua pertiga kawasan lindung Pantai Kapuk direklamasi menjadi perumahan Pantai Indah Kapuk

1994. Hutan kota Tomang di Jakarta Barat dikonversi menjadi Mal Taman Anggrek

1995. Luas ruang terbuka hijau 24,9%

1996. Konversi besar-besaran RTH Senayan dimulai, ditandai dengan pembangunan Hotel Atlet Century dan Plaza Senayan

1997. Hotel Mulia dibangun di atas RTH Senayan menggunakan memo Presiden Soeharto

1998. Luas ruang terbuka hijau 9,6%.

1999. Gubernur Sutiyoso “memutihkan” pelanggaran ruang terbuka hijau dengan menerbitkan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010.

2000. Luas ruang terbuka hijau 9,4% (kritis)

2003. Luas ruang terbuka hijau 9,12%

2005. Pemerintah Daerah membangun apartemen di atas ruang terbuka Polumas. Pembangunan ini digagas sejak masa Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997)

2005. Kantor Wali Kota Jakarta Selatan dibangun di bekas pemakaman Blok P. Konversi ini digagas sejak zaman Gubernur Soerjadi Soedirdja (1992-1997)

2007. Luas RTH ditaksir tinggal 6,2 %

Pemerintah di Tahun 2008 ini sudah mulai melakukan penggusuran kampung miskin di Jakrta dengan dalih ’mengembalikan RTH’ untuk mencapai target 13,94% di Tahun 2010 (RTRW Jakarta 2000-2010). Setidaknya lebih dari 135 kapung miskin saat ini terancam. Tidak hana itu, kehidupan sosial ekonomi dan budaya warganya yang sudah melekat dengan lingkungannya akan kembali tercerai berai.

Paradigma pemerintah dengan melakukan penggusuran dan memberikan ganti rugi adalah tindakan yang tidak menyelesaikan masalah perkotaan. Yang muncul adalah bumerang dan bom waktu nuntuk kota Jakarta, karena warga yang digusur akan berpindah tempat dan mencari lokasi tempat tinggal lagi. Ini berarti akan akan ada permukiman ilegal (squatters) yang lain. Ibaratnya: ”Gusur satu, tumbuh seribu..”

Saya coba hitung berapa luas kampung-kampung miskin yang saat ini terancam penggusuran (lebih dari 135 kampung) yang sebarannya berada di 5 kotamadya, berada di tepi waduk, pinggir rel, bantaran sungai, tanah-tanah sengketa, lahan kosong, kolong Tol dan pinggir laut utara Jakarta. Ternyata luasnya tidak lebih dari 2% luas Jakarta (luas Jakarta 650 km2). Sehingga sungguh naif dan tidak adil bila pemerintah gembar gembor akan menambah RTH dengan cara menggusur kampung-kampung miskin. Di samping luasnya tidak signifikan, biaya yang dikeluarkan sangat besar dan dampaknya pun sangat luar biasa bagi warganya (fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan budaya). Padahal pemerintah mentarget peningkatan lebih dari 4% RTH sampai Tahun 2010. Sangat tidak realistis..!!

Pemerintah saat ini membuang APBD, untuk penggusuran (bahasa pemerintah: penertiban) Tahun 2008 mencapai Rp. 900 miliar lebih. Sungguh nilai yang sangat besar untuk program yang tidak menyelesaikan masalah kota, dan justru menimbulkan maslah baru yang kompleks bagi warga dan pemerintah. Apabila pemerintah lebih arif, sebenarnya dana sebesar ini bisa dialokasikan untuk program perbaikan kampung-kampung miskin yang melibatkan warganya.

Pemecahan alternatif yang realistis, adalah menata kampung-kampung miskin Jakarta menjadi kampung yang hijau yang bisa memberi kontribusi signifikan terhadap kota Jakarta. RTH yang lebih menekankan fungsi lingkungan yaitu sebagai daerah yang secara optimal dapat menghasikan oksigen, menyerap polusi dan resapan air, serta RTH yang memiliki fungsi sosial yaitu dikelola dan dijaga oleh warganya, karena berfungsi juga sebagai sarana sosialisasi warganya (pasal 31, Perda No.6 Tahun 1999 tentang RTRW DKI Jakrarta). RTH yang realistis adalah RTH yang lebih menekankan fungsi, bukan luasnya. Tidak ada gunanya bila ada ruang terbuka, yang dikatakan hijau tetapi lebih banyak permukaan tanah yang diperkeras sehingga fungsi-fungsi lingkunganya menjadi minim. Contoh: Taman Menteng (ex Lapangan Persija).

Kampung-kampung miskin yang selama ini selalu dianggap sebagai masalah kota, sebenarnya mempunyai potensi, apabila mereka dilibatkan dan diberi kepercayaan dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan penataan kampung dan meningkatkan RTH, warga dapat mengorganisir diri, melakukan kegiatan menabung secara klektif, mengelola dan memilah sampah untuk didaur ulang, penataan sistem sanitasi dan air limbah, penghijauan kampung bisa dilakukan secara swadaya dengan menanam jenis tanaman obat dan perindang. Lingkungan fisik juga bisa dirancang bersama untuk memenuhi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) 75%, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) 1,5-2,2 dan Koefisien Daerah Hijau (KDH) 25%. Solusi yang akan muncul di tiap kampung miskin past juga akan beda, sesuai dengan kondisi fisik dan masyarakatnya.

Konkretnya, akan ada banyak solusi alternatif untuk mengatasi masalah permukiman miskin di Jakarta. Re-blocking, Low Rise Housing, Rumah Maisonete (tumpuk), Upgrading, Urban Renewal atau Rumah susun (angsur-milik komunitas). Selama ada good political will dari pemerintah untuk melibatkan warganya, masalah ini akan dapat dipecahkan secara komprehensif.

Pemerintah perlu belajar dari Surabaya (penataan permukiman Stren Kali), Aceh (pasca tsunami warga 23 kampung membangun kembali kampungnya setelah tsunami, 18 bulan menyelesaikan 3500 unit rumah permanent, infrastruktur kampong dan kehidupannya) dan Thailand (baan mankong, program penataan kampong miskin yang melibatkan warganya, lebih dari 400 kota sudah diselesaikan).

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda