Rumah Kardus di Kota yang Rakus
Warga Jakarta tak putus dirundung penggusuran. Maukah pemerintah memilih solusi cerdas dan adil?
PADA 7 Agustus 2007 kebakaran besar melanda permukiman warga di kolong jalan layang Jembatan Tiga, Penjaringan, Jakarta Utara. Lidah api yang ganas begitu cepat melahap rumah-rumah bedeng warga yang sebagian besar berbahan kayu dan tripleks. Akibatnya 200-an rumah ludes dan lebih dari 800 orang kehilangan tempat tinggal.
Akibat kebakaran itu Jasa Marga dan Citra Marga Nushapala Persada, pengelola jalan tol Bandara Soekarno-Hatta, melansir kerugian rusaknya konstruksi jembatan tol mencapai Rp 35 miliar. Dengan alasan demi keamanan dan ketertiban, Pemerintah Kota Madya Jakarta Utara bersiap melancarkan jurus lawas: penggusuran. Tak tanggung-tanggung, 3.500 keluarga yang meliputi 10.000 jiwa penghuni kolong tol terancam.
Jurus lawas ini tampaknya memang menjadi senjata pamungkas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang terkenal bertangan besi dalam mengatasi "kesemrawutan" Ibu Kota. Spanjang tahun 2001-2003, pria yang belum lama ini dianugerahi gelar terhormat Doktor Honoris Causa dari Universitas Diponegoro Semarang, karena dinggap berhasil membangun ekonomi Jakarta dengan tetap memperhatikan pedagang kaki lima, telah menggusur 8.643 keluarga. Kebijakan penggusuran dari pejabat puncak ini memberikan "inspirasi" bagi jajaran di bawahnya untuk menerapkan cara serupa dalam mengatasi masalah kependudukan.
"Kemungkinan besar masyarakat yang
terkena gusur akan melakukan tindak
kriminal seperti merampok atau
mencopet."
(Wati Nilamsari, Sosiolog)
|
Mulanya Wali Kota Jakarta Utara Effendi Anas menetapkan waktu "pembersihan" kolong tol pada 29 Agustus. Warga yang memiliki kartu tanda penduduk DKI Jakarta akan diboyong paksa ke sejumlah rumah susun di daerah Marunda, Kapuk Muara, Tipar Cakung, Muara Angke, dan Cengkareng. Sedangkan warga yang tidak memiliki kartu izin tinggal di Ibu Kota akan dipulangkan ke kampung halaman dan diberi uang kerahiman Rp 1 juta. Namun, orang-orang kecil yang gigih mempertahankan hidup itu berusaha melawan. Operasi penggusuran pun ditunda. Namun, tetap saja pada 4 September sekitar pukul 10 pagi puluhan personel Satuan Polisi Pamong Praja mulai merobohkan rumah-rumah di permukiman kolong tol Warakas, Jakarta Utara.
Ketakutan dipaksa hengkang dari tempat tinggal kini juga menghantui warga di sembilan permukiman kolong tol lain. Apalagi Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto sejak Februari lalu mengeluarkan keputusan mencabut Kepmen Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) No 214/KPTS/M/2002 tentang Pemberian Izin Pemanfaatan Sementara Tanah di Daerah Milik Jalan (Damija) Layang Tol Ruas Tanjung Priok-Pluit kepada Warga. Padahal, keputusan menteri itulah yang selama ini menjadi payung pelindung bagi warga yang menempati kolong tol sejak tahun 1997.
"Jika ada warga yang punya usaha ternak
kambing, apakah kambingnya muat
ditempatkan di rumah susun?"
(Yuli Kusworo, aktivis UPC)
|
Letak permukiman kolong tol yang strategis, dekat dengan sarana umum seperti pasar, rumah sakit, dan sekolah membuat warga menolak dipindahkan ke rumah susun yang menjauhkan mereka dari tempat asal dan tempat beraktivitas selama ini. Belum lagi warga yang mayoritas bekerja sebagai pemulung sulit menyesuaikan diri dengan kondisi rumah susun yang lahannya terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk meneruskan usaha mengumpulkan sampah.
Wati Nilamsari, sosiolog perkotaan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengingatkan, menggusur warga miskin dari komunitasnya tanpa memperhatikan aspek ekonomi dan sosial akan menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. "Setelah menerima uang satu juta rupiah mereka tinggal di tempat yang disediakan Pemprov DKI yakni di rusun yang jauh dari aktivitas mereka. Nah, kalau sudah begitu bukannya ke depan akan menambah masalah baru? Dampak sosiologisnya banyak. Warga kehilangan mata pencaharian karena digusur. Kalau sudah begitu, kemungkinan besar masyarakat yang terkena gusur akan melakukan tindak kriminal seperti merampok atau mencopet," ujarnya.
Memindahkan warga kolong tol dari tempat bermukim sekarang memang mencabut mereka dari akar hubungan sosiologis dan ekonomis dengan lingkungan sekitar. Urban Poor Linkage, jaringan masyarakat miskin kota yang mendampingi warga mencatat banyak kerugian yang harus ditanggung warga jika dipindahkan ke rumah susun. Warga harus mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk biaya sewa rumah susun berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Padahal selama menempati kolong tol mayoritas warga tidak mengeluarkan uang untuk biaya sewa rumah. Warga juga harus mencari sekolah pengganti bagi anak-anak mereka. Mencari sekolah baru berarti juga mengeluarkan biaya tambahan pindah sekolah. Jika tidak pindah sekolah tentu repot pula. Anak-anak itu harus menempuh perjalanan jauh pergi-pulang sekolah. Itu pun bukannya tanpa ongkos.
Bekerja sama dengan Tim Teknis Pro Rakyat, gabungan arsitek dan perencana tata kota, warga mengusulkan penggeseran permukiman ke sekitar Daerah Milik Jalan (Damija) Layang Tol yang radiusnya tidak lebih dari 1 kilometer. Menurut warga, usulan ini lebih realistis dibandingkan pindah ke rumah susun, mengingat wilayah Damija yang belum dikelola dan dibiarkan terbengkalai mencapai puluhan hektare.
Anggota Tim Teknis Pro Rakyat, Yuli Kusworo, mengatakan kini warga sudah menyiapkan dana swadaya dan tenaga untuk membangun perumahan baru di daerah sisi kolong tol. Mereka bersepakat menjadikan kolong tol sebagai taman dan area umum, sehingga warga tidak lagi membangun rumah tepat di kolong tol.
"Jika ada warga yang punya usaha ternak kambing, apakah kambingnya muat ditempatkan di rumah susun? Kalau ada warga yang punya usaha barang-barang bekas, terus mau ditaruh di mana barang-barangnya? Tidak hanya itu. Mereka juga akan semakin jauh dari aktivitas sosialnya. Rusun Marunda yang akan ditempati mereka sekarang fasilitas umumnya masih sangat terbatas," ujarnya.
Menurut Yuli, dengan memindahkan warga ke lahan milik pemerintah di sekitar kolong tol, interaksi warga dengan masyarakat sekitar tidak akan berubah, sehingga tidak mencabut mereka dari tatanan sosial yang terbangun selama ini. Melalui program geser bukan gusur itu warga juga diberi kesempatan menjaga dan mengelola kolong tol secara swadaya. Hal itu akan menambah rasa ikut memiliki sehingga mau menjaga keindahan dan kenyamanan lingkungan kolong tol.
"Apa haknya dia tinggal di situ? Apa hak
orang mengatur di situ? Siapa yang
punya tanah itu?"
(Wiryatmoko, Kepala Dinas Tata Kota)
|
Ide kreatif tersebut ditentang Kepala Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta Wiryatmoko. Dia beralasan, warga tidak memiliki izin tinggal di lokasi milik jalan layang tol dan permukiman di sekitarnya juga akan menambah kesemrawutan wilayah. "Kami tidak setuju. Apa haknya dia (warga kolong tol) tinggal di situ? Anda kalau ngomongin orang mau hidup di Jakarta ini, apa hak orang mengatur di situ? Siapa yang punya tanah itu? Sama saja tanah Anda dikuasai oleh orang lain, marah nggak?" ujar Wiryatmoko berapi-api.
Pendapat senada dilontarkan ahli hukum pertanahan Ari Hutagalung. Menurut dia, untuk menyelesaikan sengketa kolong tol perlu diselidiki terlebih dahulu status tanah di wilayah tersebut. Jika tanah tersebut milik pemerintah, warga tidak memiliki hak untuk menempati wilayah itu.
"Harus dibedakan antara tanah milik pemerintah dengan tanah negara. Tanah negara tidak ada hak-hak tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan tidak ada hak-hak pribadi di atasnya. Negara dalam hal ini kewenangannya ada pada BPN. Sedangkan kalau tanah yang sudah dibebaskan untuk jalan tol itu biasanya tanah pemerintah," kata Ari.
Dengan alasan kepemilikan tanah itu Wiryatmoko menolak keras usulan warga kolong tol untuk mengelola secara swadaya lahan yang sejak lama ditelantarkan pemerintah itu. Padahal bukti nyata warga mampu mengelola secara mandiri wilayahnya dapat dilihat pada keberhasilan penghuni pinggir Kali Code Utara, Yogyakarta, mengubah perkampungan yang semula kumuh menjadi lebih asri dan tertata.
Melalui pendekatan kemanusiaan YB Mangunwijaya berhasil membuktikan bahwa warga pun mampu menata sendiri perkampungannya jika diberikan kepercayaan. Kepercayaan yang diberikan itu bahkan mampu mengubah mental dan cara pikir penghuni kampung. Sebanyak 54 keluarga yang meliputi 186 jiwa yang mendiami bantaran Kali Code itu kini banyak yang sudah alih profesi menjadi pedagang atau usaha lain. Sebelumnya kebanyakan mereka bekerja sebagai pemulung.
"Kenapa mesti digusur? Soal
penghidupan, mereka bisa cari sendiri
kok dan tidak pernah ganggu uang
pemerintah."
(Agus Rizal, penghuni kolong tol)
|
Keinginan warga untuk dapat hidup mandiri dan sejahtera di atas tanah milik pemerintah tampaknya harus terbentur angkuh hati kehendak penguasa wilayah. Apalagi usaha warga untuk berdialog dengan Menteri Pekerjaan Umum sebagai pemilik lahan untuk menjabarkan usulan penggeseran tempat tinggal pun tidak direspons serius. Namun penggusuran juga bukan solusi yang adil bagi warga kolong tol.
"Ketenangan warga itu kan soal rumah. Kenapa mesti digusur? Soal penghidupan, mereka bisa cari sendiri kok dan tidak pernah ganggu uang pemerintah. Cobalah kasih perhatian sedikit saja kepada kami. Kalau ada tanah kosong biarin aja dikelola oleh warga," kata Agus Rizal, warga permukiman kolong tol Papanggo, Jakarta Utara. (*)
Penulis: Angga Haksoro, Reporter: Kurniawan Tri Yunanto, Liza Desylanhi, Tri Wibowo Santoso, Yery Niko Borang, Yulianti.
Foto-Foto (Dari paling atas ke paling bawah):
1. Satpol PP Menggusur pemukinan jalan tolo (oleh Kurniawan T Yunanto)
2. Anak-anak penghuni kolong tol berbagi makanan setelah rumah mereka digusur (Foto Kurniawan T Yunanto)
3. Wati Nilamsari (oleh VHRmedia.com/Tri Wibowo)
4. Wiryatmoko (oleh VHRmedia.com/Yulianti)
5. Yuli Kusworo (VHRmedia.com/Tri Wibowo)< /p>
disadur dari:
Website VHRnews, 19 September 2007 - 11:53 WIB
Label: jalan-jalan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda