Rabu, 20 Februari 2008

(ibu) kota yang OMPONG..

Jalan-jalan di Jakarta Utara, mulai dari kawasan Tanjung Priok naek angkot nomor 15 menuju Kota Lama, sungguh perjalanan yang unik. Dihitung dari kilometer jarak, mungkin tak lebih dari 5 kilometer. Namun bila kita di dalam angkot, kita akan duduk selama perjalanan lebih dari 30 menit.

Mulai dari jalan menuju terminal bus Tanjung Priok, yang terlihat sesaknya jalan oleh puluha angkot, bus, metromini dan bus antar kota antar propinsi yang akan masuk terminal dari arah TOL Cawang. Belum lagi pemandangan kontras di pinggir jalan, para pengayuh ojek sepeda onthel yang berlomba mencari penumpang dari angkutan umum yang berhenti di beberapa titik persimpangan jalan. Pedagang asongan, buah, minuman dan rokok juga tak mau kalah ambil bagian manfaatkan ramainya suanasana sekitar teminal. Sekilas memang kita bisa melihat secara kasat mata bahwa ini adalah kawasan bisnis yang sangat padat dan pasti uang yang berputar di kawasan ini nilainya luar biasa, dalam satu hari. DI sepanjang jalan samaskali kita tak melihat adanya tanah atau lahan kosong. Semua gedung bertingkat dua atau lebih, perkantoran, toko atau cafe.

Keluar dari Terminal us Tanjung Priok, angkot melambatkan laju, yang harus bersabar dengan deretan truk container, yang keluar masuk area pelabuhan. Di kiri kanan jalan terlihat tumpukan peti kemas yang di parkir di area terbuka. Selepas dari area pelabuhan masih saja angkot tak bisa melaju normal, ternyata genangan air memenuhi jalan. Sempat tengok ke arah utara, ternyata permukaan air laut dan jalan raya sudah sama tinggi, sehingga jalan raya pun harus ikut terendam luapan air laut.

Menuju ke Kota Lama melewati area rekreasi Ancol dan kawasan padat permukiman di Pademangan (sisi selatan Ancol), di sini pun tampak bahwa Jakarta utara seakan tak bisa bernafas karena jumlah bangunan yang tumbuh di atas tanah Jakarta Utara sudah benar-benar tak bisa bergerak. Wajar bila banyak pihak mengatakan Jakarta overload, Jakarta butuh ruang untuk bernafas, pemerintah brteriak kampung miskin akan ditertibkan untuk menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Benarkah Jakarta benar-benar penuh sesak, dan sudah tidak ada lagi ruang yang tersisa.

Lain perjalanan dari Priok-Kota Lama, saya coba lakuka pengamatan lebih detail, bagaimana lingkunan fisik di Jakarta Utara. Bagaimana ruang-ruang kota dimanfaatkan oleh penduduk kota dan pemerintah di Jakarta Utara. Sungguh ironis, ternyata banyak bangunan di Jakarta Utara yang tidak dimanfaatkan dengan baik, entah kosong, rusak atau sengaja dibiarkan oleh pemiliknya sebagai bagian dari investasi jangka panjang di Kota besar. Sepanjang jalan sisi selatan Stasiun Kota saja, saya lihat lebih dari 5 bangunan yang kosong. Di kampung Bandan, area sekitar TOL kamppung Walang, lahan milik TNI AD juga terbengakalai (lebih dari 1 HA), 30 HA lahan di Taman BMW Sunter yang saat ini digunakan warga untuk membuat kampung ilegal dan banyak bangunan yang menyisakan puing tak berpenghuni. Indikasi apakah ini?

Satu sisi kita mengatakan Jakarta penuh sesak, tapi di lain sisi pemerintah tak punya ketegasan terhadap pemanfaatan lahan di dalam kota untuk kepentingan yang jelas. Banyak lahan kosong dan luas, tapi tak sedikit pula warga miskin di kota Jakarta yang harus survive dengan bersusah payah hidup di kampung padat, tidak sehat dan ilegal. Bila pemerintah peka melihat apa yang terjadi di kota, berkaitan dengan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan lahan, maka pemasalahan permukiman miskin seharusnya dapat dipecahka bersama dengan melibatkan BPN, aparat hukum, Dinas Tata kota dan Bangunan dan warga miskin.

Seharusnya pemerintah mempunyai aturan mengenai lahan kosong yang tidak dimanfaatkan pemiliknya sesuai dengan peruntukannya dalam jangka waktu tertentu (misal 10 tahun) maka tahun ke 11 akan diambil alih oleh pemerintah dan kemudian oleh pemerintah akan dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan perumahan warga miskin bersubsidi, atau untuk program peremajaan kampung miskin digabung dengan membuat area bisnis rakyat. Bila ini bisa dilakukan, maka Jakrta akan benar-bernar menjadi kota yang efektif dan tidak ompong.

Hal seperti ini sudah dilakukan di kota-kota modern di dunia seperti Vancouver Canada, Berlin Jerman, atau kota-kota di Amerika. Pemerintah benar-benar berusaha menjaga fungsi lahan. Kecenderungan untuk hidup ke pinggir karena alasan kenyamanan hidup di kota harus ditangkap sebagai indikasi buruk perkembangan sebuah kota (seperti Jakarta). Bagaiman jika perlahan semua orang mulai bergeser ke peri-urban area dan meninggalkan daerh urban atau CBD? Sedangkan yang infrastruktur dan fasilitas kota yang dibangun di daerah urban diangun karena kepentingan kelas tengah dan atas..? Sedangkan kelas bawah yang selama ini bertahan dan cenderung survive sama sekali tak terpegaruh dengan fasilitas dan infrastruktur tersebut. Seakan di dalam kota ada gap atau layer, yang masing-masing berjalan sendiri di rel formal dan informal.

kankah kita melihat ibukota yang semakin kehilangan gigi alias ompong..ia semakin lama tak akan bisa mengunyah makanan apapun yang masuk ke mulutnya..bicarapun sudah tak jelas, apalagi ibukota juga masih berusaha bertahan dari penyakit kronis yang dideritanya, BANJIR..


Label:

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

ketika yang dimaksud ibu kota adalah jakarta, dan si jakarta itu ompong --> ini menarik.

yang ada di benak sebagian besar orang ketika mendengar "jakarta" adalah sesak, penuh dan ibarat gigi ( jakarta yang seharusnya maksimal bergigi 32, tapi sudah mempunyai ratusan gigi)--> ungkapan ini ingin memperlihatkan pada kita bahwa
tidak akan mungkin lagi ada kata "ompong" / kosong di jakarta..

tulisan ini jadi menarik, karena sedikit keluar dari pakem pikiran orang kebanyakan, memberikan sebuah bukti dan mengandung muatan magnet satire, yang menunggu adanya tarika n. bukan sekedar tanggapan, tetapi gerakan...

18 Maret 2008 pukul 09.47  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda