Sabtu, 24 Mei 2008

(mewujudkan) kota HIJAU untuk semua


Kebutuhan paru-paru kota untuk mengurangi efek rumah kaca, menyaring polusi dan memaksimalkan fungsi tanah sebagai resapan yang dapat mendukung dan meningkatkan kenyamanan sebuah kot, tentunya menjadi pertimbangan utama seorang perencana kota atau arsitek dalam membuat desain bangunan dan kawasan kota. Semakin sesak dan menjamurnya bangunan-bangunan tinggi yang tidak mempertimbangkan aspek lingkungan menyumang pemanasan global yang tidak sedikit. Dengan dalih optimalisasi lahan kota, dengan adanya bangunan pencakar langit (yang asal jadi dan hanya aspek ekonomis saja yang menjadi pertimbangan desain) membuat kota semakin tidak bisa bernafas.

Menurut saya, arsitek merupakan salah satu pihak yang menyumbang cukup signifikan terhadap pemaasan global. Pemakaian AC yang berlebih, desain yang didomonasi fasad kaca serta koefisien dasar bangunan yang berlebih adalah sumber utama kenapa kota cenderung bertambah suhunya. Di samping pihak pemerintah yang patut dipersalahkan atas pemberian ijin dan selalu berubahnya peruntukan lahan dari tahun ke tahun. Jakarta misalnya, tahun 1960 yang sudah ditetapkan 37% areanya ditetapkan sebagai RTH, saat ini area-area tersebut berubah fungsinya menjadi kompleks komersial elit dan hanya tersisa 9% saja. Sungguh menyedihkan, di mana otak pemerintah sehingga kita akan berpikir, akan menjadi apa Jakarta 20 tahun lagi. Yang lebih kurang ajar, perubahan fungsi lahan tersebut dilegitimasi dengan diterbitkannya RTRW baru, terakhir ini dilakukan oleh Sutiyoso. Tapi licik juga otak birokrat ini, setelah 'membabat' RTH Jakarta mereka mengeluarkan kebijakan bahwa untuk mengembalikan RTH Jakarta hingga 30%, ditetapkan RTH Privat, yang ditaksir adalah 20% dan didapat dari lahan-lahan pekarangan warga, yang sebelumnya tidak pernah diperhitungkan. Sedangkan RTH Publik ditargetkan naik 4% , namun didapat dari penggusuran kampung-kampung miskin di Jakarta yang sebenarnya luasnya tidak signifikan (kurang dari 1%) tetapi menggunakan budget APBD sampai 900 miliar.
Lalu, bagaimana dengan bangunan-bangunan komersial (mall, real estate) yang luasnya sangat signifikan yaitu 1980 Ha? Apakah pemerintah juga akan menggusur mereka? Sangat tidak mungkin jawabnya.

Apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja belajar dari banyak kota di dunia seperti Bangkok, Fukuoka, Vancouver, Curitiba atau kota-kota Eropa, banyak yang bisa dilakukan oleh warga, arsitek dan perencana kota atau pemerintah. Mulai dari menanam jenis-jenis tanaman tertentu di lahan sempit yang berfungsi sebagai penyerap CO2, menghasil oksigen banyak sampai menanam pepohoan rimbun di ruang-ruang terbuka publik di lingkungan kampung misalnya. Tradisi ini harus ditanamkan kepada warga kota melalui pendidikan dini anak-anak. Warga kota harus memulai ini semua dengan melakukan hal-hal kecil untuk menunjukkan kepedulian terhadap kota sebagai wujud partisipasi. Sebagai perencana, membuat roof garden atau mengurangi penggunaan AC dan mengoptimalkan penghawaan alami masih bisa dilakukan selama si arsitek masih punya sense of environtment. Pemerintah sebagai pengelola kota, harus tegas terhadap pemodal, menyeimbangkan aspek kepentingan investasi ekonomi dengan kepentingan sustainability kota.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda