Pak Amat: Penyintas Tsunami Aceh
Sebulan lalu, kira-kira awal November 2014 saya datang ke Aceh, untuk melihat kembali tempat di mana saya bekerja selama 2 tahun lebih di 23 gampong pasca Tsunami Aceh. Saya berkeliling bersepeda dan menemui orang-orang yang selamat (penyintas) dan bekerja di masa tanggap darurat dan rekonstruksi bersama Urban Poor Linkage (UPLINK) Indonesia, organisasi di mana saya bekerja pada masa itu.
Saya menemui orang tertua di Gampong Lam Guron, Kecamatan Peukanbada. Beliau kami panggil Pak Amat (78 tahun). Saat ini beliau menjabat Ketua Tuha Peut (sesepuh kampung) dengan keseharian bekerja di sawah bersama anak-anaknya. Saya berbincang dengannya dan merangkum pengalamannya saat selamat dari terjangan tsunami Aceh 26 Desember 2014, 10 tahun lalu. Pak Amat mempunyai keluarga 11 orang terdiri dari satu istri (hilang) dan 9 anak (6 orang hilang). Kini Pak Amat hanya tinggal bersama 3 orang anaknya.
Saat terjadi tsunami Pak Amat sedang mencari ikan menggunakan sampan kayu. Saat air surut Pak Amat hanya tertegun bingung kenapa ini karang-karang terlihat dangkal sekali. Tak lama dari itu di tengah laut terlihat air hitam tinggi semakin mendekat. Tak kehabisan akal, saat ombak sudah dekat Pak Amat memberanikan diri nyemplung ke laut dan memgangi sampannya. Sehingga Pak Amat terbawa arus dengan mendekap pelampung kayunya. Tak terlihat kampungnya lagi, yang ada hanya terlihat bukit di belakang kampungnya dan pucuk pohon-pohon kelapa dan dibawa ke bukit. Terombang ambing besama pelampungnya, Pak Amat beberapa kali kembali ke laut hingga datang ombak ke dua yang lebih besar.
Akhirnya ombak tersebut membawa Pak Amat tersangkut di pohon besar di gampong sebelah, gampong Lambadeuk. Ternyata Pak Amat baru sadar kalau dirinya tersangkut di atas pohon. Setelah berhasil memegang ranting yang ada, hingga air semakin surut Pak Amat hanya melihat situasi sekeliling dari atas pohon. Ombak datang dan pergi tiga kali hingga yang terakhir Pak Amat turun dan lari ke bukit untuk mencari tempat yang lebih aman. Saat menuju bukit pun sudah hampir magrib, rasa trauma yang luar biasa karena berjalan melompati mayat-mayat orang yang jumlahnya puluhan di antara puing-puing kayu bongkahan rumah yang roboh.
Jam 12 malam Pak Amat akhirnya bertemu orang gampong Meunasah Tuha bernama Abu Zakaria. Akhirnya di bukit sepakat mereka menjauh dari kampung agar dapat bantuan dan bisa mencari makanan. Rasanya tak tega meninggalkan mayat-mayat tersebut, namun karena jumlahnya sangat banyak akhirnya diputuskan untuk meninggalkan satu per satu mayat-mayat tersebut. Pak Amat malam pertama menginap di kandang Lembu di gampong Lam Geu Eu dan bertemu beberapa orang dan ada yang membawa mie instant dan dimasak dengan menggunakan air bekas tsunami yang masih tergenang di sekitar kandang.
Pagi harinya Pak Amat memberanikan diri pulang ke kampung mencari keluarganya, namun tak satu pun menemukan keluarganya yang hilang (7 orang). Hari berikutnya beliau menemukan salah satu anaknya yang ditemukan tetangganya, Rahmawati dengan luka serius karena tercabik kayu pada kakinya. Sementara 2 anak lainnya yang selamat secara kebetulan sedang berada di rumah sakit meuraxa dan bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atap rumah sakit bersama beberapa orang.
Yang menjadikan Pak Amat kembali ke kampung halaman adalah soal tanah leluhur. Tanah tumpah darah bagi Pak Amat adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipertahankan. Sehingga beliau memilih untuk kembali ke kampung, mengumpulkkan kayu bekas tsunami dan membangun Meunasah untuk tempat bekumpul dan mengkonsolidasikan kekuatan sosial. Hingga akhirnya UPLINK mendorong gerakan pulang kampung bersama-sama dan membangun rumah sementara dari kayu bekas.
Pak Amat sangat yakin jika kampungnya bisa kembali terbangun, dengan modal kekuatan warganya yang tersisa. Saat itu ada 27 orang yang memutuskan kembali ke kampung bersama Pak Amat. Dengan 27 orang tersebut pembangunan gampong dimulai. Pak Amat pun menjadi salah satu tim inti UPLINK yang bekerja membuat peta kampung menggunakan alat digital Total Station Survey (TSS). Pak AMat dan beberapa warga dari Lam Guron bekerja bersama tim survey UPLINK selama lebih dari 3 bulan memetakan lebih dari 3500 tapak tanah di 23 gampong.
Sekarang Pak Amat merasa sangat siap jika terjadi gempa. Pembelajaran sebagai penyintas tsunami sangat bermanfaat baginya untuk lebih siaga. Demikian pula dengan 200an orang yang tinggal di gampong Lam Guron sekarang sudah tidak panik lagi ketika terjadi gempa. Rumahnya yang menghadap ke arah laut juga membuat beliau mudah mengawasi laut saat gempa terjadi. Apakah air naik atau tidak, beliau cukup berdiri di pintu dan memandang ke arah laut.
Saya menemui orang tertua di Gampong Lam Guron, Kecamatan Peukanbada. Beliau kami panggil Pak Amat (78 tahun). Saat ini beliau menjabat Ketua Tuha Peut (sesepuh kampung) dengan keseharian bekerja di sawah bersama anak-anaknya. Saya berbincang dengannya dan merangkum pengalamannya saat selamat dari terjangan tsunami Aceh 26 Desember 2014, 10 tahun lalu. Pak Amat mempunyai keluarga 11 orang terdiri dari satu istri (hilang) dan 9 anak (6 orang hilang). Kini Pak Amat hanya tinggal bersama 3 orang anaknya.
Saat terjadi tsunami Pak Amat sedang mencari ikan menggunakan sampan kayu. Saat air surut Pak Amat hanya tertegun bingung kenapa ini karang-karang terlihat dangkal sekali. Tak lama dari itu di tengah laut terlihat air hitam tinggi semakin mendekat. Tak kehabisan akal, saat ombak sudah dekat Pak Amat memberanikan diri nyemplung ke laut dan memgangi sampannya. Sehingga Pak Amat terbawa arus dengan mendekap pelampung kayunya. Tak terlihat kampungnya lagi, yang ada hanya terlihat bukit di belakang kampungnya dan pucuk pohon-pohon kelapa dan dibawa ke bukit. Terombang ambing besama pelampungnya, Pak Amat beberapa kali kembali ke laut hingga datang ombak ke dua yang lebih besar.
Akhirnya ombak tersebut membawa Pak Amat tersangkut di pohon besar di gampong sebelah, gampong Lambadeuk. Ternyata Pak Amat baru sadar kalau dirinya tersangkut di atas pohon. Setelah berhasil memegang ranting yang ada, hingga air semakin surut Pak Amat hanya melihat situasi sekeliling dari atas pohon. Ombak datang dan pergi tiga kali hingga yang terakhir Pak Amat turun dan lari ke bukit untuk mencari tempat yang lebih aman. Saat menuju bukit pun sudah hampir magrib, rasa trauma yang luar biasa karena berjalan melompati mayat-mayat orang yang jumlahnya puluhan di antara puing-puing kayu bongkahan rumah yang roboh.
Jam 12 malam Pak Amat akhirnya bertemu orang gampong Meunasah Tuha bernama Abu Zakaria. Akhirnya di bukit sepakat mereka menjauh dari kampung agar dapat bantuan dan bisa mencari makanan. Rasanya tak tega meninggalkan mayat-mayat tersebut, namun karena jumlahnya sangat banyak akhirnya diputuskan untuk meninggalkan satu per satu mayat-mayat tersebut. Pak Amat malam pertama menginap di kandang Lembu di gampong Lam Geu Eu dan bertemu beberapa orang dan ada yang membawa mie instant dan dimasak dengan menggunakan air bekas tsunami yang masih tergenang di sekitar kandang.
Pagi harinya Pak Amat memberanikan diri pulang ke kampung mencari keluarganya, namun tak satu pun menemukan keluarganya yang hilang (7 orang). Hari berikutnya beliau menemukan salah satu anaknya yang ditemukan tetangganya, Rahmawati dengan luka serius karena tercabik kayu pada kakinya. Sementara 2 anak lainnya yang selamat secara kebetulan sedang berada di rumah sakit meuraxa dan bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atap rumah sakit bersama beberapa orang.
Yang menjadikan Pak Amat kembali ke kampung halaman adalah soal tanah leluhur. Tanah tumpah darah bagi Pak Amat adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipertahankan. Sehingga beliau memilih untuk kembali ke kampung, mengumpulkkan kayu bekas tsunami dan membangun Meunasah untuk tempat bekumpul dan mengkonsolidasikan kekuatan sosial. Hingga akhirnya UPLINK mendorong gerakan pulang kampung bersama-sama dan membangun rumah sementara dari kayu bekas.
Pak Amat sangat yakin jika kampungnya bisa kembali terbangun, dengan modal kekuatan warganya yang tersisa. Saat itu ada 27 orang yang memutuskan kembali ke kampung bersama Pak Amat. Dengan 27 orang tersebut pembangunan gampong dimulai. Pak Amat pun menjadi salah satu tim inti UPLINK yang bekerja membuat peta kampung menggunakan alat digital Total Station Survey (TSS). Pak AMat dan beberapa warga dari Lam Guron bekerja bersama tim survey UPLINK selama lebih dari 3 bulan memetakan lebih dari 3500 tapak tanah di 23 gampong.
Sekarang Pak Amat merasa sangat siap jika terjadi gempa. Pembelajaran sebagai penyintas tsunami sangat bermanfaat baginya untuk lebih siaga. Demikian pula dengan 200an orang yang tinggal di gampong Lam Guron sekarang sudah tidak panik lagi ketika terjadi gempa. Rumahnya yang menghadap ke arah laut juga membuat beliau mudah mengawasi laut saat gempa terjadi. Apakah air naik atau tidak, beliau cukup berdiri di pintu dan memandang ke arah laut.